HEI ARSENAL, MARI
BEGURU DENGAN LIVERPOOL DAN LAZIO
Melanjutkan artikel
sebelumnya, yang mana Arsenal harus berguru dengan Liverpool dan Lazio untuk
sabar dan belajar akan masa transisi ini, disini penulis merekomendasikan
Arsenal perlu belajar dari Liverpool dan Lazio. Mengapa dua klub ini yang
dipilih? Karena kedua klub ini pernah mengalami nasib yang sama dengan Arsenal.
Kedua klub ini mempunyai sejarah yang cukup hebat, pernah mengalami masa
transisi, dan pernah mengalami masalah keuangan yang pelik. Ketiga hal yang
juga pernah dimiliki Arsenal. Liverpool dan Lazio berhasil belajar dari
pengalaman-pengalaman pahit yang sudah mereka lalui, lalu menghindari
kesalahan-kesalahan yang sama. Akhirnya mereka memetik buahnya saat ini berupa
prestasi. Kedua klub ini sama-sama melewati proses yang sangat panjang dan
penuh kesabaran. Jika diperhatikan, Arsenal masih belum seberapa merana
dibandingkan kedua klub ini. Arsenal terakhir juara Premier League pada tahun
2004, dengan status invincibles, tak terkalahkan satu musim penuh, yang
tidak mampu digapai tim lain di Era Premier League. Sementara Liverpool terakhir juara liga pada
tahun 1990, 30 tahun yang lalu. Lalu Lazio terakhir kali juara Serie A pada
tahun 2000, 20 tahun yang lalu. Mari kita bahas perjalanan kedua klub ini.
Liverpool sebenarnya sudah
konsisten di papan atas Premier League sejak lama, hanya saja keberuntungan
belum memihak pada mereka. Musim 2008/2009, 2013/2014. Dan 2018/2019 sudah
juara paruh musim, namun akhir musim mereka inkonsisten dan gagal juara. Kiprah
The Reds di kompetisi Eropa beda cerita. Mulai awal milenium ke-2
Liverpool sudah banyak menorehkan trofi, antara lain 1 Piala UEFA (Liga Eropa)
pada tahun 2001; 2 Piala Super Eropa pada tahun 2000 dan 2005; serta 1 trofi
Liga Champions pada tahun 2005. Setelah kemenangan dramatis atas AC Milan di
final Liga Champions tahun 2005, Liverpool selalu konsisten di empat besar Liga
Primer. Empat besar yang waktu itu sering disebut Fantastic Four bersama
Manchester United, Chelsea, dan Arsenal. Liverpool mulai kolaps di akhir
kepelatihan Rafael Benitez. Mulai musim 2009/2010, Liverpool goyah dan keluar
dari empat besar Liga Primer. Selain itu di Eropa juga tidak lolos fase grup
Liga Champions. Turun kasta di Piala UEFA, Liverpool hanya sampai semifinal,
kandas dari Atletico Madrid yang menjadi kampiun waktu itu.
Tidak kunjung membaik, Rafael
Benitez meninggalkan Anfield dan Roy Hodgson menggantikan posisi Benitez di
musim 2010/2011. Roy Hodgson pun setali tiga uang, bahkan lebih parah,
Liverpool sempat terjerembab ke zona degradasi. Hodgson dipecat di paruh musim
kemudian digantikan “The King” Kenny Dalglish, yang sempat menggairahkan
Liverpool dan bercokol di peringkat 6 klasemen akhir. Musim berikutnya, King
Kenny berhasil meraih trofi Piala Liga Inggris, namun setelahnya performa tim
kolaps dan terjun payung ke posisi 8 klasemen akhir, peringkat terburuk dalam
16 tahun terakhir sejarah klub. Musim 2012/2013, kemudi kapal Liverpool
dialihkan ke Brendan Rodgers. Musim kedua kepemimpinan, Rodgers hampir membawa
Liverpool meraih gelar juara Liga dan lolos ke Liga Champions setelah 5 tahun
absen. Namun kiprah Rodgers di Liga Champions hanya sampai fase grup, numpang
lewat saja. finish di peringkat ketiga fase grup membuat Liverpool terjunn ke
Liga Eropa. Di Liga Eropa pun tragis, tersingkir dari Besiktas di babak 32
besar. Rodgers hanya mentok sampai ke situ, tidak mampu mengangkat lagi. Di
awal musim 2015/2016, Rodgers dipecat karena performa Liverpool menurun dan
digantikan manajer kharismatik, Juergen Klopp.
Di bawah asuhan Klopp, jalan kesuksesan
Liverpool dimulai. Akhir musim 2015/2016 Klopp membawa Liverpool sebagai
finalis Liga Eropa, kemudian musim berikutnya berhasil mendongkrak posisi The
Reds ke posisi 4 klasemen akhir Liga Primer sehingga mendapatkan satu tiket
ke Liga Champions. Musim 2017/2018 juga mengakhiri musim di posisi 4 Liga
Primer, namun berhasil mencapai final Liga Champions walaupun ditekuk Real
Madrid di final. Musim 2018/2019 meningkat ke posisi 2 klasemen akhir Liga
Primer dan berhasil menjuarai Liga Champions. Di awal musim 2019/2020,
Liverpool menjuarai Piala Super Eropa setelah mengalahkan Chelsea lewat babak
adu penalti. Di penghujung tahun 2019 Liverpool menahbiskan diri sebagai klub
terbaik di dunia setelah menjuarai Piala Dunia Antar Klub di Qatar. Tahun 2020
ini tinggal mengemas 2 kemenangan lagi mereka menjuarai Liga Primer Inggris
kembali setelah 30 tahun menantikannya. Liverpool kini menjadi inspirasi dunia,
bahwa untuk sukses dibutuhkan proses yang panjang.
Selain masalah di dalam
lapangan, Liverpool juga sempat diterpa masalah keuangan. Masalah bermula dari
David Moores, pemilik saham terbesar Liverpool yang menyerahkan kepemilikan
klub kepada George Gillet dan Tom Hicks pada 6 Februari 2007. Hicks dan Gillet
ternyata meminjam uang kepada Royal Bank of Scotland (RBS) sebanyak 351 juta
pounds dan belum mampu melunasi, sehingga Liverpool terlilit hutang dan
terancam bangkrut. 15 Oktober 2010, Gillet dan Hicks angkat koper dari Anfield
setelah mendapat kecaman dari berbagai elemen klub, baik suporter maupun
internal klub. Rafael Benitez dikabarkan hengkang dari Anfield karena dua
pebisnis asal Amerika Serikat ini tidak mau memenuhi permintaannya terkait
transfer pemain. Kepemilikan diserahkan kepada John W. Henry, pemilik
perusahaaan Fenway Sports Group (FSG). FSG melunasi hutang yang ditinggal
Gillet dan Hicks, lalu sedikit demi sedikit meraih keuntungan berkat rencana
jangka panjang Juergen Klopp. Dilansir dari Transfermarkt, saat ini Liverpool
memiliki nilai pasar 1,19 miliar euro.
Lazio menjadi salah satu dari
The Magnificient Seven Serie A pada dekade 90-an bersama AC Milan,
Inter Milan, Juventus, AS Roma, Fiorentina, dan Parma. Saat itu Lazio rajin
main di kompetisi Eropa berkat pemain-pemain bintang yang dimilikinya, bahkan
mencicipi juara Serie A pada musim 1999/2000. Alessandro Nesta, Juan Sebastian
Veron, Pavel Nedved, Hernan Crespo, Roberto Mancini, Sinisa Mihajlovic, Dejan
Stankovic, dan Marcelo Salas adalah nama-nama tenar yang pernah menghiasi line-up
Lazio sebelum bertanding.
Namun semua itu berubah
ketika Cirio, perusahaan pangan yang menjadi sumber dana utama Lazio bangkrut.
Awalnya Cirio mengalami masalah finansial setelah Lazio membeli pemain-pemain
bintang yakni Hernan Crespo, Claudio Lopez, Angelo Peruzzi, Dino Baggio, Karel
Poborsky, Francesco Colonnese, dan Lucas Castroman yang hanya ditutup dengan
melego Sergio Conceicao pada musim 2000/2001. Musim berikutnya Lazio bisa
beroperasi dengan baik di bursa transfer. Mereka memang mendatangkan Gaizka
Mendieta, Jaap Stam, Stefano Fiore, dan Darko Kovacevic dengan harga mahal.
Namun, itu mereka lakukan setelah Juan Veron, Pavel Nedved, dan Marcelo Salas
dijual dengan harga mahal pula. Sayangnya, kebijakan itu tetap tidak mampu
menyelamatkan Lazio dan Cirio. Pada 2003, Cirio mengajukan kebangkrutan. Musim
berikutnya, Sergio Cragnotti presiden Lazio ditangkap atas kasus penggelapan
uang. Kejayaan Lazio berakhir dan kepergian pemain-pemain bintang pun tak
terhindarkan. Selanjutnya, di pentas Serie A Lazio lebih sering menghuni papan
tengah pada klasemen akhir. Paling sesekali mengangkat piala Coppa Italia
(2004, 2009, dan 2013) dan Piala Super Italia (2009).
Pada 2004 Claudio Lotito
mengambil alih kepemilikan klub. Lotito menghemat uang untuk membayar hutang
yang ditinggalkan Cragnotti sebesar 550 juta euro. Di bawah Lotito, Lazio hanya
bisa membeli pemain-pemain muda. Sebetulnya banyak pemain potensial yang muncul
di era Lotito, sayangnya memilih untuk meninggalkan Olimpico. Hernanes
(Juventus), Felipe Anderson (West Ham United), dan Keita Balde (AS Monaco)
adalah contoh barisan pemain berbakat yang pernah membela Elang Roma. Penjualan
pemain-pemain berbakat cukup menguntungkan Lotito karena bisa membantu
mengurangi beban hutang. Berkat kesabaran Lotito dalam mengelola keuangan klub,
saat ini Lazio memiliki nilai pasar sebesar 372,65 juta Euro.
Untuk urusan di dalam lapangan,
Lazio sempat berganti-ganti pelatih di era Lotito. Mulai dari Delio Rossi,
Davide Ballardini, Vladimir Petkovic, Stefano Pioli, hingga Simone Inzaghi yang
sudah menangani tim selama 4 musim terakhir. Nama terakhir sudah diamati Lotito
sejak masih bermain di klub. Lotito menganggap Inzaghi memiliki bakat
kepelatihan yang hebat. Sebelum melatih klub senior, Inzaghi memang melatih
klub Primavera Lazio dan meraih tiga trofi, namun belum pernah melatih klub
senior. Inzaghi dianggap suporter sebagai legenda Elang Roma, karena sudah
bergabung sejak 1999 dan pensiun di Lazio tahun 2010. Kesetiaannya di Lazio
saat sebagai pemain meskipun sering dipinjamkan membuat suporter mencintai adik
dari Filippo Inzaghi ini. Mungkin karena sudah cukup lama berkecimpung di klub
membuat Inzaghi mengetahui seluk beluk dan internal klub, dan tahu bagaimana
mengatasi masalah yang ada. Dengan skema dasar 3-5-2, Inzaghi membuat Lazio
lebih seimbang dalam bertahan dan menyerang. Inzaghi mampu menyulap Ciro
Immobile dan Luis Alberto menjadi sangat berbahaya setelah kedua pemain
tersebut gagal bersinar di klub sebelumnya, yakni Borussia Dortmund dan
Liverpool. Kemampuan Inzaghi mempertahankan Sergej Milinkovic-Savic dari godaan
klub-klub elit Eropa juga patut diacungi jempol. Perpaduan pemain senior dan
pemain muda dalam permainan Lazio, ditambah tidak banyak perubahan tim utama
saat kepemimpinan Inzaghi membuat Lazio semakin solid. Sudah tiga trofi yang dipersembahkan Inzaghi
untuk Lazio, yakni Piala Super Italia (2017 dan 2019) dan Coppa Italia (2019).
Liverpool
dan Lazio sudah banyak menelan asam garam selama melewati masa transisi.
Arsenal tinggal mengikuti langkah-langkah kedua klub ini, tentunya sesuai
dengan keadaan yang ada di dalam tubuh Arsenal saat ini. Berikut tips yang bisa
dilakukan Arsenal:
1.
Motivasi
untuk Menang Setiap Pertandingan
Inilah
yang mendasari setiap tim sepak bola bertanding dan mau bertarung di lapangan
hijau. Menang adalah mind set utama yang harus ditanamkan sejak dini.
Apapun kompetisi yang digeluti, menang setiap pertandingan adalah tujuan utama
semua tim. Untuk Arsenal, semua kompetisi harus didasari prinsip ini, baik Liga
Primer, Liga Eropa/Champions, Piala FA, maupun Piala Liga. Semua pemain pasti
mendapat kesempatan bermain, berhubung padatnya jadwal kompetisi. Mikel Arteta
pasti mau merotasi tim untuk mengarungi kompetisi yang ada. Semua pemain harus
totalitas mempersembahkan kemampuan terbaiknya. Mental pemenang inilah yang
akan menumbuhkan mental juara.
Prinsip
inilah yang mendasari Liverpool sehingga mereka mampu mengangkat trofi Liga
Champions musim lalu. Kemenangan heroik atas Bayern Muenchen yang didapat kala
melawat ke Allianz Arena dengan skor 3-1 serta kemenangan super fantastis atas
Barcelona di semifinal adalah contoh nyata. Liverpool seolah-olah mengajari
Arsenal bagaimana cara mengalahkan Bayern dan Barcelona, yang sering menjadi
momok kala bertemu di Liga Champions.
Ketika
taktik dan strategi dari pelatih sudah buntu, yang berperan adalah fighting
spirit atau semangat untuk bertarung sampai titik darah penghabisan.
Arsenal masih kerap kebingungan ketika taktik yang diterapkan pelatih mulai
buntu dan belum membuahkan hasil. Tim tidak boleh terlihat bingung ketika
terjadi kebuntuan, harus berusaha keras sampai menit akhir pertandingan.
Yakinlah, ketika sudah berusaha keras, dewi fortuna pasti memberikan jalan.
2.
Kontrak
Pemain dengan Durasi yang Lama dan Hampir Bersamaan
Ini
dikhususkan untuk pemain-pemain yang memiliki umur produktif masih cukup lama.
Pemain yang berusia 24-26 tahun dan pemain-pemain muda perlu perpanjangan
kontrak, untuk beradaptasi dengan sistem permainan Arteta. Nicholas Pepe,
Gabriel Martinelli, Eddie Nketiah, Joe Willock, Reiss Nelson, dan Bukayo Saka
termasuk dalam daftar ini. Berikan kontrak dengan waktu habis yang hampir sama,
Misalnya Martinelli, Saka, dan Nketiah sama-sama diberi kontrak hingga tahun
2025. Hal ini diperlukan supaya para pemain bisa mendapatkan chemistry dan
memahami taktik pelatih secara menyeluruh. Butuh waktu untuk membentuk tim yang
tangguh, tidak bisa dalam waktu sekejap.
3.
Tidak
banyak mengubah Line-Up
Biasanya
pelatih membagi skuad utama dalam dua tim, yakni tim inti dan cadangan. Tim
inti biasanya bermain di liga domestik dan kompetisi Eropa. Tim cadangan
biasanya bermain di piala domestik. Pelatih perlu membentuk sebuah tim dengan
memadukan pemain-pemain dengan kualitas biasa maupun berbakat dengan dalam
waktu yang cukup lama. Setidaknya setiap lini ada satu pemain yang selalu
mengisi line-up. Ketika pemain-pemain yang sama selalu bermain bersama,
setiap pemain akan memahami satu sama lain kelebihan dan kekurangan kawannya.
Di situ para pemain bisa saling menambal kekurangan dan mengoptimalkan potensi
yang dimiliki setiap individu. Terbentuklah skuad yang solid dengan chemistry
yang sempurna. Pelatih juga butuh waktu untuk mengamati potensi apa yang
dimiliki setiap pemain sehingga keberadaannya bisa dimaksimalkan dalam taktik
dan strategi yang telah ditentukan.
Untuk hal ini, kita bisa mencontoh Lazio. Ciro
Immobile, Luis Alberto, Sergej Milinkovic-Savic, Stefan Radu, Senad Lulic, dan
Thomas Strakosha selalu mengisi line-up Elang Roma hampir setiap laga di
Serie A sejak awal kepelatihan Inzaghi. Alberto sudah tahu Immobile dan
Milinkovic akan berlari ke mana, sehingga umpan yang diberikan Alberto bisa
tepat ke target. Ini karena mereka bermain bersama selama bertahun-tahun.
4.
Melindungi
Pemain Andalan dari Incaran Klub Lain
Pemain
andalan yang memiliki kemampuan lebih penting dalam sebuah tim sepak bola.
Pemain seperti ini mampu mengubah keadaan atau menentukan jalannya
pertandingan. Di Arsenal ada Pierre-Emerick Aubameyang yang selalu menjadi
pembeda dalam tim. Dia selalu mencetak gol-gol krusial. Aubameyang mulai
diincar klub lain, seperti Manchester United dan Barcelona. Arteta perlu
memberi perlindungan dan jaminan kepada Aubameyang untuk masa depannya di
Arsenal. Aubameyang juga perlu memaklumi Arteta yang baru beberapa bulan
melatih Arsenal. Setidaknya Aubameyang diberi tambahan kontrak dua sampai tiga
tahun di Arsenal, sebagai role model bagi striker lain.
Kita bisa
mencontoh Lazio untuk perihal ini. Sergej Milinkovic-Savic masih bertahan di
Lazio hingga saat ini, padahal sudah kurang lebih tiga tahun namanya masuk
dalam daftar incaran klub-klub top Eropa seperti Manchester United, Chelsea,
dan Paris Saint Germain. Milinkovic memang elemen penting dalam strategi
Inzaghi, dengan keahliannya coming from behind mengelabuhi pertahanan
lawan, saat yang lain sibuk menjaga Immobile.
5.
Jangan
Terprovokasi Media
Menurut
Yamadipati Seno, industri media sering bekerja serampangan. Baik media cetak
maupun digital butuh bumbu demi “klik” untuk membaca. Banyak target yang harus
dipenuhi, seperti page views, users, bounce rate, dan
sebagainya. Bagaimana cara untuk mengejar target berikut? Jawabannya adalah
konten. Wartawan biasanya mempertimbangkan beberapa hal, seperti ketokohan,
keunikan, aktualitas, kedekatan, dan sebagainya. Semuanya dibuat agar konten
terlihat semenarik mungkin. Media berlomba-lomba membuat konten paling
menggugah untuk diklik oleh calon pembaca. Tak peduli apakah berita yang
disajikan benar atau tidak, valid atau tidak, datanya sesuai atau tidak,
menyeluruh atau tidak, dan pertimbangan lainnya. Penulis pernah melihat berita
dengan judul ‘Liverpool kalah dari Norwich City 0-1’ dari salah satu situs
berita beberapa waktu lalu. “Perasaan semalem menang deh”, begitu pikir
penulis. Begitu dibuka, ternyata Liverpool kalah dari Norwich City di musim
1993/1994. Ini adalah contoh dari clickbait yang banyak berseliweran di gadget
kita.
Juergen
Klopp selalu berusaha melindungi pemain-pemainnya ketika konferensi pers agar
masalah di ruang ganti tidak tersebar ke ranah publik. Klopp tahu, media pasti
akan menggoreng sedemikian rupa untuk menyajikan konten yang menarik. Tak
jarang konten yang dihasilkan kerap menyudutkan Liverpool. Arsenal pun kiranya
juga sudah mengerti akan masalah ini. Arteta selalu berusaha berbicara
seperlunya di konferensi pers. Singkat, padat, dan lugas, begitulah tipikal Arteta.
Lazio mungkin agak diuntungkan, karena tidak banyak media yang membahas Elang
Roma. Untuk sepak bola Italia, media cenderung menyorot kamera ke Juventus,
Inter Milan, AC Milan, dan AS Roma. Lazio cukup jarang diberitakan. Lazio mesti
bersyukur dengan keadaan ini. Mereka bisa bekerja maksimal tanpa tekanan tinggi
dari media.
Untuk
masalah ini, tidak hanya klub saja yang perlu menyikapi. Kita sebagai warganet
yang bijak juga perlu menyikapi hal ini dengan penuh hati-hati. Kita mesti
merespon setiap informasi yang membanjiri gawai kita dengan pertimbangan yang
dalam. Benarkah berita ini? Apakah benar data ini? Sesuaikah opini ini?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang wajib kita ajukan secara pribadi ketika
mendapatkan informasi. Coba bandingkan dengan media lain, beritanya sama atau
tidak. Di sinilah nalar berpikir kritis kita diasah. Kita perlu mencerna suatu
masalah dari dua sisi dan tidak menyudutkan salah satu pihak, sehingga dapat
memunculkan win win solution, solusi yang bisa diterima semua pihak.
Akhirnya, kita bisa belajar
banyak dari Liverpool dan Lazio. Dua klub yang sama-sama berproses di tengah
kerasnya persaingan kompetisi sepak bola modern. Mereka punya komitmen,
kesabaran, tekad yang kuat, dan keteguhan hati dalam menjalani proses. Mereka tidak
jor-joran membeli pemain bintang, namun pemain-pemain yang ada mampu
menyesuaikan diri dengan taktik dan strategi yang diterapkan pelatih. Justru
klub-klub seperti inilah yang lebih konsisten dalam waktu yang lama dibanding
klub yang dimiliki pengusaha kaya raya, karena mereka sudah terlatih dengan
dana klub yang seadanya.
Ibarat mendaki gunung, Liverpool
sudah sampai puncak gunung, Lazio hampir sampai puncak, dan Arsenal masih di
lereng gunung. Zaman sekarang sudah tidak relevan lagi teori ‘semakin banyak
uang semakin banyak prestasi yang diraih’. Pernyataan lama Claudio Lotito
ketika mengambil alih Lazio belasan tahun lalu akhirnya terbukti, “Teori yang
mengatakan siapa yang paling banyak mengeluarkan uang akan menang sudah usang.