LONDON UTARA YANG MULAI 'MEMUTIH'
Arsenal mengalami kekalahan usai ditekuk oleh Aston
Villa dengan skor 1-0 pada lanjutan Premier League pekan ke-37 yang dihelat di
Villa Park. Hasil ini tentunya menjadi torehan terburuk Arsenal selama 25 tahun
terakhir. Pasalnya ini pertama kalinya Arsenal finish dibawah 60 point sejak
1995. Bahkan musim ini bisa jadi musim terburuk Arsenal karena secara
sistematis Arsenal kembali finish di bawah Tottenham. Ya, sudah empat musim
berturut-turut Arsenal gagal merayakan St.Totterringham Day, yang mana
terakhir dilaksanakan tepatnya pada tahun 2016 silam, di mana Arsenal finish di
posisi kedua, unggul satu poin dari Tottenham yang berada tepat di bawahnya.
Kini London Utara mulai ‘memutih’, tentunya bukan
statemen yang menyenangkan tetapi menjadi sebuah peringatan bahwa dominasi London
Utara mulai bergeser ke White Heart Lane. Selama empat tahun kebelakang
Tottenham selalu konsisten berada di empat besar bahkan berpeluang juara saat
musim 2017. Musim lalu pun merupakan musim yang baik bagi Tottenham, pasalnya
Tottenham mampu melaju sampai babak Final UCL yang mana merupakan pencapaian
tertinggi Spurs dalam kompetisi tersebut. Untungnya mereka takluk dari
Liverpool 2-0, membuat Tottenham kembali merasakan puasa gelar yang sudah
berlangsung sejak 2008. Sedangkan untuk Arsenal sendiri, sejak terakhir
menjuarai FA Cup pada tahun 2017, Performa Arsenal cenderung menurun. Saat
berkompetisi di liga, Arsenal sendiri kesulitan untuk masuk empat besar,
membuat Arsenal hanya bisa bermain di Liga Europa kasta kedua kompetisi Europa.
Ya walaupun Tottenham saat ini sama buruknya dengan
Arsenal, setidaknya mereka berhasil finish di atas Arsenal (lagi). Tentunya hal
ini menimbulkan satu pertanyaan, kenapa Tottenham bisa finish di atas Arsenal?
Memperbaiki Teknis Permainan
Kedatangan Pochetinno dari Southampton merupakan titik
balik Tottenham menggerogoti dominasi Arsenal di London Utara. Tottenham yang
biasanya hanya bersaing di 10 besar Premier League, disulap menjadi salah satu
tim besar layaknya Chelsea dan Liverpool untuk bersaing di papan atas Premier
League. Pochetino mulai membangun tim dengan membenahi kelemahan Tottenham yang
paling mendasar yaitu pertahanan. Tottenham sebelum ditukangi oleh Pochetinno
memang merupakan tim yang kurang memiliki pertahanan yang rapuh. Roy Keane
dalam autobiografinya menceritakan satu momen ketika Manchester United akan
berhadapan dengan Tottenham. Sebelum dimulainya pertandingan Sir Alex Ferguson
hanya memberikan tiga kata untuk menyemangati timnya, Lads,
it's Tottenham". Kawan-kawan, ini Tottenham. Tiga
kata yang menandakan buruknya Tottenham di kala itu.
Namun
dibawah asuhan Pochetinno, Tottenham dibuatnya bagaikan tim yang lebih atraktif
saat menyerang dan kuat dalam bertahan. Tottenham sendiri memiliki catatan
impresif dalam hal bertahan. Dalam rentang waktu 2016-2019, Tottenham merupakan
tim yang tidak pernah kebobolan lebih dari 40 goal, bahkan pada musim 2016-2017,
Tottenham hanya kebobolan 26 goal dari 38 laga (0,69 goal/per laga). Statistik
tersebut tentunya menghapus stigma buruk tentang rapuhnya lini pertahanan
mereka.
Tidak
hanya dalam bertahan, Pochettino memberikan pendekataan berbeda saat menyerang.
Spurs yang dikomandoi oleh Pochettino lebih memainkan permainan menyerang yang
atraktif dan juga offensive dengan mengurung daerah pertahanannya dengan gaya
bermain possession tidak lupa dengan pressing ketat yang efektif
mematikan serangan lawan dengan cepat.
Mentalitas
Selain membenahi kelemahan Tottenham, Pochettino
menanamkan jiwa pemenang terhadap setiap punggawanya. Rasa tidak mau kalah
selalu tertanam pada setiap pemain Tottenham. Perubahan drastis mentalitas
Spurs salah satunya tergambar dalam atmosfer ruang ganti pada laga melawan
Everton pada tahun 2015 silam yang berkesudahan imbang 1-1 di Goodison Park. Terlihat
para pemain menyikapi hasil itu sebagai kekalahan karena mereka layak untuk
memenangkan laga tersebut.
Di
mulai dari hari itu, mentalitas pemain Spurs semakin terasah, Puncaknya adalah
ketika mereka dapat menyingkirkan Manchester City dan Ajax Amsterdam pada ajang
Champions League musim lalu. Tentunya hal tersebut bukanlah suatu kebetulan,
jiwa pantang menyerah merekalah yang membuat mereka dapat mengembalikan keadaan
tersebut dan melaju ke babak berikutnya.
Mentalitas
yang dibangun Pochettino terus tumbuh dan berkembang, bahkan mentalitas itu
masih ada pada jiwa Tottenham ala Mourinho saat ini. Terbukti ketika insiden
ribut-tibut Hugo Lloris dan Son Heung-Min pada pertandingan melawan Everton
pekan lalu. Lloris marah pada Son karena tidak menghalau pergerakan Richarlison
yang hampir berbuah goal. Rasa benci akan kalah dan besarnya ego para pemain
Tottenham menandakan tim yang akan bertanding hanya mengincar kemenangan.
Arsenal
yang sekarang tidak memiliki mental seperti itu. Tidak adanya sosok yang
memiliki kharisma untuk mengarahkan squad yang sekarang disinyalir menjadi
lemahnya mentalitas Arsenal beberapa tahun ini. Setelah pensiunnya Wenger dan
hengkangnya Koscielny, Arsenal tidak memiliki sosok yang dijadikan pemacu
mental para pemainnya.
Pemain
Arsenal yang sekarang memiliki ego yang besar. Ego yang besar dari para
pemainnya tentunya akan menjadi baik bila ditangani oleh sosok yang tepat.
Namun ketidakhadiran sosok tersebut membuat Arsenal berjalan tanpa arah yang
pasti.
Ditunjuknya
Arteta sebagai pelatih tentunya bisa jadi obat penawar untuk sosok yang dapat
membawa Arsenal lebih baik lagi, terlebih Arteta sudah mengenal betul seluk
beluk dari Arsenal itu sendiri.
Berikan
waktu untuk Arteta, toh Juergen Klopp baru meraih kesuksesan di musim
kelimanya.
Ditulis oleh: Robby Arsyadani
Ditulis oleh: Robby Arsyadani