Rabu, 22 Juli 2020

LONDON UTARA YANG MULAI 'MEMUTIH'


LONDON UTARA YANG MULAI 'MEMUTIH'


Arsenal mengalami kekalahan usai ditekuk oleh Aston Villa dengan skor 1-0 pada lanjutan Premier League pekan ke-37 yang dihelat di Villa Park. Hasil ini tentunya menjadi torehan terburuk Arsenal selama 25 tahun terakhir. Pasalnya ini pertama kalinya Arsenal finish dibawah 60 point sejak 1995. Bahkan musim ini bisa jadi musim terburuk Arsenal karena secara sistematis Arsenal kembali finish di bawah Tottenham. Ya, sudah empat musim berturut-turut Arsenal gagal merayakan St.Totterringham Day, yang mana terakhir dilaksanakan tepatnya pada tahun 2016 silam, di mana Arsenal finish di posisi kedua, unggul satu poin dari Tottenham yang berada tepat di bawahnya.

Kini London Utara mulai ‘memutih’, tentunya bukan statemen yang menyenangkan tetapi menjadi sebuah peringatan bahwa dominasi London Utara mulai bergeser ke White Heart Lane. Selama empat tahun kebelakang Tottenham selalu konsisten berada di empat besar bahkan berpeluang juara saat musim 2017. Musim lalu pun merupakan musim yang baik bagi Tottenham, pasalnya Tottenham mampu melaju sampai babak Final UCL yang mana merupakan pencapaian tertinggi Spurs dalam kompetisi tersebut. Untungnya mereka takluk dari Liverpool 2-0, membuat Tottenham kembali merasakan puasa gelar yang sudah berlangsung sejak 2008. Sedangkan untuk Arsenal sendiri, sejak terakhir menjuarai FA Cup pada tahun 2017, Performa Arsenal cenderung menurun. Saat berkompetisi di liga, Arsenal sendiri kesulitan untuk masuk empat besar, membuat Arsenal hanya bisa bermain di Liga Europa kasta kedua kompetisi Europa.

Ya walaupun Tottenham saat ini sama buruknya dengan Arsenal, setidaknya mereka berhasil finish di atas Arsenal (lagi). Tentunya hal ini menimbulkan satu pertanyaan, kenapa Tottenham bisa finish di atas Arsenal?

Memperbaiki Teknis Permainan
Kedatangan Pochetinno dari Southampton merupakan titik balik Tottenham menggerogoti dominasi Arsenal di London Utara. Tottenham yang biasanya hanya bersaing di 10 besar Premier League, disulap menjadi salah satu tim besar layaknya Chelsea dan Liverpool untuk bersaing di papan atas Premier League. Pochetino mulai membangun tim dengan membenahi kelemahan Tottenham yang paling mendasar yaitu pertahanan. Tottenham sebelum ditukangi oleh Pochetinno memang merupakan tim yang kurang memiliki pertahanan yang rapuh. Roy Keane dalam autobiografinya menceritakan satu momen ketika Manchester United akan berhadapan dengan Tottenham. Sebelum dimulainya pertandingan Sir Alex Ferguson hanya memberikan tiga kata untuk menyemangati timnya, Lads, it's Tottenham". Kawan-kawan, ini Tottenham. Tiga kata yang menandakan buruknya Tottenham di kala itu.

Namun dibawah asuhan Pochetinno, Tottenham dibuatnya bagaikan tim yang lebih atraktif saat menyerang dan kuat dalam bertahan. Tottenham sendiri memiliki catatan impresif dalam hal bertahan. Dalam rentang waktu 2016-2019, Tottenham merupakan tim yang tidak pernah kebobolan lebih dari 40 goal, bahkan pada musim 2016-2017, Tottenham hanya kebobolan 26 goal dari 38 laga (0,69 goal/per laga). Statistik tersebut tentunya menghapus stigma buruk tentang rapuhnya lini pertahanan mereka.

Tidak hanya dalam bertahan, Pochettino memberikan pendekataan berbeda saat menyerang. Spurs yang dikomandoi oleh Pochettino lebih memainkan permainan menyerang yang atraktif dan juga offensive dengan mengurung daerah pertahanannya dengan gaya bermain possession tidak lupa dengan pressing ketat yang efektif mematikan serangan lawan dengan cepat.



Mentalitas
Selain membenahi kelemahan Tottenham, Pochettino menanamkan jiwa pemenang terhadap setiap punggawanya. Rasa tidak mau kalah selalu tertanam pada setiap pemain Tottenham. Perubahan drastis mentalitas Spurs salah satunya tergambar dalam atmosfer ruang ganti pada laga melawan Everton pada tahun 2015 silam yang berkesudahan imbang 1-1 di Goodison Park. Terlihat para pemain menyikapi hasil itu sebagai kekalahan karena mereka layak untuk memenangkan laga tersebut.

Di mulai dari hari itu, mentalitas pemain Spurs semakin terasah, Puncaknya adalah ketika mereka dapat menyingkirkan Manchester City dan Ajax Amsterdam pada ajang Champions League musim lalu. Tentunya hal tersebut bukanlah suatu kebetulan, jiwa pantang menyerah merekalah yang membuat mereka dapat mengembalikan keadaan tersebut dan melaju ke babak berikutnya.

Mentalitas yang dibangun Pochettino terus tumbuh dan berkembang, bahkan mentalitas itu masih ada pada jiwa Tottenham ala Mourinho saat ini. Terbukti ketika insiden ribut-tibut Hugo Lloris dan Son Heung-Min pada pertandingan melawan Everton pekan lalu. Lloris marah pada Son karena tidak menghalau pergerakan Richarlison yang hampir berbuah goal. Rasa benci akan kalah dan besarnya ego para pemain Tottenham menandakan tim yang akan bertanding hanya mengincar kemenangan.

Arsenal yang sekarang tidak memiliki mental seperti itu. Tidak adanya sosok yang memiliki kharisma untuk mengarahkan squad yang sekarang disinyalir menjadi lemahnya mentalitas Arsenal beberapa tahun ini. Setelah pensiunnya Wenger dan hengkangnya Koscielny, Arsenal tidak memiliki sosok yang dijadikan pemacu mental para pemainnya.

Pemain Arsenal yang sekarang memiliki ego yang besar. Ego yang besar dari para pemainnya tentunya akan menjadi baik bila ditangani oleh sosok yang tepat. Namun ketidakhadiran sosok tersebut membuat Arsenal berjalan tanpa arah yang pasti.

Ditunjuknya Arteta sebagai pelatih tentunya bisa jadi obat penawar untuk sosok yang dapat membawa Arsenal lebih baik lagi, terlebih Arteta sudah mengenal betul seluk beluk dari Arsenal itu sendiri.

Berikan waktu untuk Arteta, toh Juergen Klopp baru meraih kesuksesan di musim kelimanya.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar