Minggu, 30 Agustus 2020

Arsenal: Solid Bertahan, Efektif Menyerang.

Arsenal: Solid Bertahan, Efektif Menyerang.

Arsenal berhasil mengalahkan Liverpool pada partai Community Shield yang dihelat di Wembley Sabtu, 29 Agustus 2020. Arsenal mencetak gol lebih dahulu melalui skema serangan balik yang diselesaikan dengan tendangan ciamik dari kapten Arsenal, Aubameyang. Di babak kedua Liverpool membalasnya dengan gol debut pemain asal Jepang, Takumi Minamino. Lewat kerja sama apiknya dengan Mohamed Salah, ia menciptakan kemelut di depan gawang Arsenal dan mengonversikannya menjadi gol. Skor sama kuat bertahan sampai waktu normal berakhir dan dilanjutkan pada adu penalti. Sial untuk Liverpool, pemain mudanya, Brewster, menjadi satu-satunya pemain yang gagal melesakan bolanya dari titik 12 pas. Sementara semua pemain Arsenal berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Dengan kemenangan ini Arsenal meraih trofi Community Shield-nya untuk yang ke-16 kali. Sementara untuk Liverpool sendiri ini menjadi kekalahan beruntun tim tersebut di ajang Commuinty Shield.

Tentunya kemenangan ini tidak terlepas dari bagaimana pemain-pemain Arsenal meredam agresifitas penyerangan Liverpool. Lini pertahanan yang lebih solid dan terorganisir menjadi kunci dari bagaimana Arsenal dapat menahan Liverpool di awal babak pertama. Rob Holding dan David Luiz memiliki peranan vital dalam pertahanan Arsenal pada laga ini. Rob Holding bagaikan tembok lini pertahanan yang siap mengawal lini pertahanan Arsenal. Sedangkan David Luiz sendiri menjadi otak dari skema build-up Arsenal di lini pertahanannya. Dengan pemain lainnya, dia dengan tenang mengalirkan bola-bola pendek di area lini pertahanan Arsenal sendiri. Belum lagi performa dari Emi Martinez yang menciptakan dua penyelamatan penting terhadap peluang Sadio Mane, tentunya hal ini membuat lini pertahanan Arsenal semakin kokoh dan padu. Hal ini dibuktikan dengan statistik Arsenal yang mana dari 15 shoot yang dilesakan Liverpool, hanya satu yang berbuah menjadi gol dengan rincian lima tendangan diblok, tiga diselamatkan, dan sisanya off target. Tentunya ini menandakan bagaimana solidnya lini pertahanan Arsenal pada laga ini.

Dalam situasi menyerang pun Arsenal terbilang efektif mengandalkan serangan balik dalam penyerangannya. Memanfaatkan umpan-umpan dari lini pertahanan Arsenal, tim ini menciptakan delapan percobaan ke arah gawang dengan dua diantaranya tepat sasaran dan satu berbuah gol. Gol Aubameyang sendiri lahir dari skema serangan balik. Berawal dari build-up apik di lini pertahanan, bola mengalir langsung merangsek ke tengah lapangan. Bukayo Saka yang melihat Aubameyang berdiri bebas, langsung memberikan umpan diagonal ke sisi kanan pertahanan Liverpool. Bebasnya Aubameyang tidak terlepas dari peran Maitland-Niles yang membuka ruang untuk Aubameyang. Ditambah dengan Overlap dari Kieran Tierney yang membuat sisi kanan pertahanan Liverpool menjadi Overload. Artinya terdapat penumpukan pemain di wilayah tertentu yang membuat Arsenal lebih mudah mengeksploitasi sisi kanan pertahanan Liverpool.

Maitland-Niles menjadi kunci dari kemenangan Arsenal pada laga ini. Selain membantu penyerangan Arsenal yang selalu melakukan overlap di sisi kiri, ia juga disiplin dalam membantu lini perthanan. Kurang menonjolnya Mohamed Salah pada laga ini juga dikarenakan kepiawan Maitland-Niles untuk selalu berada pada posisinya. Ia seperti tahu kapan harus menyerang dan kapan waktunya untuk mengawal lini pertahanan Arsenal. Berkat performanya inilah ia dinobatkan sebagai Man of The Match pada laga kali ini. Ditambah, pemanggilannya ke dalam skuad The Three Lions menjadikan kado terbaik untuk ulang tahunnya yang ke-23 yang mana bertepatan dengan laga Community Shield, malam itu. Sangat disayangkan bila Arsenal kehilangan pemain muda ini mengingat kita belum melihat potensi maksimal dari seorang Maitland-Niles.

Kemenangan Arsenal di Community Shield ini tentunya menjadi modal yang baik untuk Arsenal dalam memulai jalannya Premier League di musim 2020/21. Kita dapat melihat Arsenal mulai menunjukan kehebatannya di hadapan ‘Big Six’ Premier League. Mengalahkan Liverpool secara beruntun di dua pertemuan terakhir, mengalahkan Manchester City era Pep Guardiola, sampai memenagkan FA Cup setelah mengalahkan Chelsea. Hal ini menunjukan Arteta sudah memberikan pengaruh yang besar untuk Arsenal. Bahkan dibanding pelatih sebelumnya, Arteta meraih lebih banyak kemenangan melawan ‘Big Six’ di delapan bulan pertamanya dibandingkan Unai Emery. Tentunya tim ini sudah berjalan ke arah yang tepat. Tinggal bagaimana mereka menunjukan konsistensinya untuk dapat memenangkan lebih banyak gelar lagi.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani


Referensi

https://www.skysports.com/football/news/11095/12059243/arsenal-vs-liverpool-ratings-ainsley-maitland-niles-shines-in-community-shield-but-mohamed-salah-struggles

https://www.skysports.com/football/arsenal-vs-liverpool/stats/427352

Kamis, 27 Agustus 2020

SULITNYA ARSENAL MELAWAN ‘BIG SIX’

SULITNYA ARSENAL MELAWAN ‘BIG SIX’

Tidak dapat dipungkiri lagi, Premier League merupakan salah satu liga terkompetitif di dunia. Tidak seperti dominasi Barcelona-Real Madrid di La Liga, ataupun superioritas Paris Saint Germain, Bayern Munich, dan Juventus di liganya masing-masing. Premier League menghadirkan enam tim yang selalu bersaing dalam perebutan papan atas klasemen. Terdiri dari Arsenal, Chelsea, Manchester City, Manchester United, Liverpool dan Tottenham, dominasi tim-tim ini di Premier League membuatnya dijuluki dengan sebutan ‘Big Six’. Tiap tahunnya, tim-tim ini selalu berada di enam teratas papan klasemen. Ibaratnya, mereka hanya bertukar posisi tiap tahunnya. Tidak hanya itu, Premier League memiliki tim-tim kuda hitam seperti Leicester, Wolves, dan Everton yang mulai menggoyahkan dominasi ‘Big Six’ di papan klasemen. Hal ini tentunya sudah membuktikan bahwa Premier League merupakan liga paling kompetitif di dunia.

Namun bagi Arsenal sendiri, menjadi ‘Big Six’ hanya seperti embel-embel berkat kejayaan di masa lalu. Arsenal dianggap hanyalah pelengkap dari enam tim yang berada di papan atas. Tidak ada tanda-tanda tim ini benar-benar bersaing untuk memenangkan Premier League. Jangankan memenangkan liga, untuk masuk zona Champion League saja Arsenal sudah absen selama empat tahun. Bahkan di musim ini, Arsenal untuk pertama kalinya ke luar dari enam besar setelah finish di posisi delapan klasemen. Ini merupakan kali pertama Arsenal finish di bawah enam besar sejak 25 tahun yang lalu, lebih tepatnya sebelum kedatangan Arsene Wenger di publik Arsenal.

Bisa dilihat dari jajaran ‘Big Six’ lainnya, mungkin Arsenal menempati posisi paling buncit diantara para kompetitornya. Ya, berada di bawah Liverpool, Manchester City, Manchester United, Chelsea, bahkan rival bebuyutannya, Tottenham. Lantas kenapa Arsenal selalu berada di bawah tim-tim ‘Big Six’ lainnya?

Statistik Big Six Premier League

Untuk Premier League musim ini saja, Arsenal sendiri sulit untuk mendapatkan banyak kemenangan di liga. Dari 38 laga, Arsenal hanya memenangkan 14 laga. Bahkan dengan jumlah ini Arsenal kalah dari tim-tim seperti Burnley, Southampton dan Wolves yang mengemas 15 kemenangan. Mirisnya dua nama pertama (Burnley dan Southampton) merupakan tim yang finish bawah Arsenal. Hal ini tentunya menandakan bahwa Arsenal sering kehilangan poin penuh saat melawan tim-tim Premier League, terutama yang levelnya berada di bawah mereka.

Hal itu tentunya disebabkan kurang impresifnya beberapa lini arsenal musim ini, lini depan misalnya. Bila dibandingkan dengan tim ‘Big Six’ lainnya, jumlah gol Arsenal berada di posisi paling bawah dengan total 56 gol. Bahkan dari total gol yang dicetak Arsenal musim ini, tim ini masih bergantung pada sosok Aubameyang. Dari 56 gol yang dicetak Arsenal, 22 gol di antaranya berkat kepiawan Auba. Bayangkan saja bagaimana bila Aubameyang hengkang, mungkin kejadiannya akan mirip seperti saat Van Persie hengkang ke kubu sebelah. Bila Aubameyang bertahan pun Arsenal harus menemukan penyerang yang sama trengginasnya dengan dirinya, mengingat Auba yang sudah berumur 32 tahun tentunya tidak selalu berada pada performa terbaiknya.

Kurang produktifnya Arsenal musim ini tentunya tidak terlepas dari cara bermain Arsenal yang kurang mendominasi pada tiap laganya. Tercatat di musim lalu saja, Arsenal hanya bisa mencatat 406 shoot ke arah gawang musuh, berbeda jauh dengan Manchester City yang menempati posisi pertama (745). Semakin sedikit shoot maka tim tersebut kurang mendominasi dan cenderung mengalami kebuntuan dalam penyerangan. Bahkan bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Arsenal cenderung tertekan sehingga sulit menciptakan shoot ke arah gawang musuh.

Hal ini bukan bualan belaka, di lini pertahanan pun total Arsenal mencatat 147 saves, angka terbanyak dibandingkan klub Premier League lainnya. Tentunya hal ini semakin mengukuhkan bahwa Arsenal merupakan tim yang lebih banyak tertekan di musim ini. Banyak penyelamatan sama saja dengan banyaknya serangan musuh. Ditambah, lini pertahanan yang kurang meyakinkan, membuat Bernd Leno harus bekerja lebih ekstra lagi untuk mengawal gawang Arsenal. Wajar saja Arsenal hanya dapat meraih 10 Clean Sheet di liga musim ini melihat buruknya lini pertahanan Arsenal musim ini.

Dengan statistik seperti itu sulitnya Arsenal untuk mengalahkan ‘Big Six’ di EPL menjadi hal yang lumrah. Dari 12 pertemuan yang telah dilakoni Arsenal melawan ‘Big Six’ musim lalu, Arsenal hanya dapat menang dua kali, yaitu melawan Manchester United (home) dan Liverpool (home) di ajang Liga. Sisanya Arsenal tidak dapat meraih poin penuh.

Kedatangan Arteta

Namun, angin segar datang ketika Arteta mulai mengambil alih kursi kepelatihan Arsenal. Arsenal mulai menampilkan tajinya dihadapan ‘Big Six’ Premier League. Tentu kita ingat bagaimana supperiornya Arsenal mengalahkan dua tim papan atas Premier League, Liverpool dan Manchester City dalam sepekan. Tentu hal itu tidak lain karena racikan taktik Arteta yang berhasil meredam kedigdayaan dua pesaing gelar juara itu. Puncaknya adalah ketika Arteta dapat mengalahkan Chelsea di final FA Cup dan mempersembahkan trofi pertamanya sebagai pelatih untuk Arsenal.

Namun kemenangan saja tidak cukup, Arsenal harus menang secara meyakinkan bila ingin kembali mendominasi Britania. Ya, Arsenal memang menang melawan Liverpool, tapi bisa-bisanya Liverpool kalah setelah melepaskan 21 shoots ke gawang Arsenal. Ya, Arsenal memang menang Lawan City, namun bagaimana bisa Arsenal menjuarai Premier League bila mereka kalah mendominasi seperti apa yang dilakukan City terhadap Arsenal. Untuk itu diperlukan skema dan pemain yang tepat agar Arsenal dapat terus konsisten setiap laganya. Jangan sampai tim sekelas Brighton mempermalukan Arsenal baik di laga kandang maupun tandang.

Arsenal sudah memiliki kunci dari semua masalahnya, kapten Arsenal di masa lalu yang sekarang menjadi manajernya, Arteta. Tinggal bagaimana tim ini terus tumbuh untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani


Referensi: Premier League.

Selasa, 25 Agustus 2020

PINDAH DARI ARSENAL GARANSI AUTO JUARA

PINDAH DARI ARSENAL GARANSI AUTO JUARA

Kompetisi di lima liga top Eropa resmi berakhir musim ini. Di tengah pandemi COVID-19, banyak liga yang dibatalkan seperti Eredivisie (Belanda) dan Ligue 1 (Prancis). Liga-liga tersebut tentunya dibatalkan dengan alasan keselamatan orang banyak, mengingat meningkatnya pandemi pada pertengahan April lalu. Namun beberapa liga mulai melanjutkan kompetisinya setelah diberi lampu hijau oleh pemerintah setempat. Mayoritas liga mulai digulirkan pada awal Juli dan berakhir di awal Agustus. Namun, setelah berakhirnya lima liga top Eropa masih ada salah satu liga yang masih berjalan di bulan Agustus ini, yaitu UEFA Europa League dan UEFA Champions League.

Dengan menggunakan beberapa format baru, dua kompetisi bergengsi Eropa itu dilaksanakan setelah berakhirnya liga-liga di Eropa. Tentu, tidak lupa dengan protokol kesehatan yang amat ketat mengingat angka pertumbuhan virus COVID-19 masih terbilang fluktuatif di kawasan Eropa.

Sevilla dinobatkan menjadi juara di ajang Europa League sementara di ajang Champions League, Bayern Munich keluar sebagai jawara setelah mengalahkan Paris Saint Germain. Untuk PSG sendiri, ini merupakan kali pertama tim tersebut masuk ke babak final perhelatan bergengsi di Eropa itu. Sementara untuk Bayern sendiri, ini adalah final ke empat mereka selama satu dekade terakhir, yang mana dua di antaranya mengukuhkan tim ini sebagai juara. Total Bayern telah mengoleksi enam trofi UCL, angka yang sama dengan jawara sebelumnya, Liverpool.

Tentunya sudah tidak mengherankan Bayern Munich keluar sebagai juara UCL musim ini, mengingat bagaimana superiornya FC Hollywood ini mengalahkan kompetitornya. Tentunya, keberhasilan Bayern ini tidak lepas dari berbagai pemain pilarnya. Selain Lewandowski, terdapat satu nama yang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Siapa lagi kalau bukan Serge Gnabry.

Serge Gnabry sendiri bisa dibilang salah satu pemain berbakat yang performanya menonjol di musim ini. Dari 47 pertandingan yang dilakoninya bersama Bayern, Ia mencatatkan 25 gol dan 12 assist. Bahkan bila dihitung dari ajang UCL sendiri, Ia mengemas 9 gol dan 2 assist dari 8 pertandingan, artinya Gnabry selalu menyumbang setidaknya satu gol pada tiap pertandingan UCL yang Ia mainkan. Angka yang sangat fantastis untuk pemain yang baru berusia 25 tahun.

Tentunya torehan Gnabry di musim ini membuat pendukung klub lamanya gigit jari. Bagaimana tidak, Gnabry sendiri dahulu adalah pemain Arsenal yang berbakat, bahkan ia menjalani debutnya bersama Arsenal di usia yang masih belia. Namun, performanya di Arsenal tidak terlihat begitu bersinar akibat berbagai cedera yang ia alami. Selepas cedera, sulit bagi Gnabry untuk menemukan performa terbaiknya. Bahkan ketika Ia dipinjamkan ke West Brom pada tahun 2015, manajer West Brom kala itu Tony Pulis mengatakan bahwa Gnabry tidak cocok bermain di Premier League.

Setahun setelahnya Arsenal menjualnya ke Werder Bremen dengan harga yang sangat murah. Manajer Arsenal kala itu, Arsene Wenger, sebenarnya tidak ingin melepas Gnabry dengan alasan Gnabry belum menunjukan seluruh potensinya kala itu. Namun Gnabry sendiri yang menginginkan dirinya untuk pergi karena membutuhkan menit bermain yang cukup.

Keluarnya Gnabry dari Arsenal nyatanya tidak disesali oleh dirinya. Karir Gnabry langsung sukses bersama klub-klub yang ia bela. Dimulai dari Werder Bremen yang kemudian sekarang berlabuh di Bayern Munich. Ya, tentunya semua akan Munchen pada waktunya. Gnabry sendiri bukanlah orang pertama yang mengalami kesuksesan ketika memilih pergi dari Arsenal. Nama-nama seperti Thierry Henry, Fabregas, Nasri, Van Persie, dan Oxlade-Chamberlain, memiliki karir yang lebih baik dan gelar yang lebih bergengsi saat mereka meninggalkan klub London Utara itu.

Hal ini seperti anomali pada tiap-tiap pemain yang pergi dari Arsenal. Mengapa hal tersebut bisa selalu terjadi? Nah, untuk itu penulis mencoba menjelaskan beberapa faktor yang membuat pemain sepakbola dapat lebih sukses ketika ia keluar dari Arsenal.

Kesempatan

Yup banyak pemain muda potensial yang jarang mendapatkan kesempatan lebih untuk bermain di tim utamnya masing-masing. Tidak hanya Arsenal, banyak tim-tim di luar sana yang kehilangan pemain potensialnya karena jarang diberi kesempatan seperti De Bruyne, Salah, dan Lukaku saat di Chelsea. ‘itu si Iwobi dikasih banyak menit bermain kok masih jelek aja’. Santai, ini masih faktor pertama, masih ada faktor lainnya yang perlu dibahas pada isu ini.

Kebutuhan tim akan pemain

Kenapa hal ini sangat penting? Ya yang namanya sepakbola dimainkan oleh 11 pemain. Nah, dari 11 pemain itu tentunya punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Pemain yang paling banyak menutup kekurangan tim ini lah yang akan keluar potensi terbaiknya. Tentunya peran pelatih di sini sangat penting mengingat bagaimana taktiknya ini nanti akan diterapkan pada pemainnya, contohnya seperti Robertson. Sebelum ia menjadi bagian dari Liverpool, Robertson hanyalah pemain muda dengan kemampuan yang tergolong biasa-biasa saja. Namun siapa sangka di bawah asuhan Juergen Klopp, Robertson disulap menjadi salah satu bek kiri terbaik di dunia. Tentunya hal ini tidak luput dari skema permainan dari Liverpool yang mana mengeluarkan potensi terbaik dari Robertson.

Tentu kita tahu seberapa hebatnya Coutinho. Ia adalah pemain yang memiliki kemampuan yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, karena Coutinho bukanlah pemain yang benar-benar dibutuhkan pada skema klubnya saat ini, maka potensi dari pemain ini tidak terlihat seperti apa yang terlihat pada klub sebelumnya. ‘tapi ada kok pemain yang tetep hebat walaupun sudah pindah klub dan lebih berhasil di klub barunya?’. Nah saatnya kita masuk ke faktor berikutnya

Visi misi

Ini adalah satu faktor penting dalam sebuah tim untuk dapat meraih gelar. Bila dianalogikan seseorang yang hebat tidak akan meraih apa-apa bersama timnya bila tidak memiliki pandangan yang sama dengan dirinya dan begitu juga sebaliknya. Tentunya visi-misi suatu tim harus dibarengi dengan tindakan mereka di lapangan, seberapa besar hasrat mereka akan terlihat pada bagaimana performa mereka selama membala hal itu. Bila semuanya sudah satu visi-misi, maka pemain akan lebih fokus pada tiap pertandingan yang akan dilakoninya. Tinggal kita lihat tim mana yang memiliki hasrat yang lebih besar untuk memenangkan pertandingan. Tentunya faktor keberuntungan tidak luput dari hal ini.

Nah dengan melihat faktor-faktor di atas tentunya banyak variable yang belum dipenuhi oleh Arsenal. Melihat pemain hasil didikan sendiri lebih bersinar di klub lain memanglah menyakitkan, tapi memangnya bila pemain itu tetap bertahan akan menjadi bersinar seperti sekarang?

Ditulis oleh: Robby Arsyadani

Referensi

https://www.panditfootball.com/cerita/213324//200303/roller-coaster-karier-sepakbola-serge-gnabry

https://www.whoscored.com/Players/119501/Show/Serge-Gnabry

Kamis, 20 Agustus 2020

CARA ARSENAL MENGORBITKAN PEMAIN MUDANYA

CARA ARSENAL MENGORBITKAN PEMAIN MUDANYA

Arsenal seperti tidak ada habis-habisnya dalam mencetak pemain muda bertalentanta. Musim lalu kita tentunya dikejutkan dengan performa apik dari Mateo Guendouzi. Datang dari Lorient, tim kasta kedua Liga Perancis, Guendouzi menjadi pilihan utama Emery hampir di semua pertandingan. Mengemas 47 penampilan di musim lalu, jumlah penampilannya hanya kalah dari Aubameyang, Iwobi, Lucas Torreira, dan Lacazette. Hal ini menandakan pentingnya peran Guendouzi di musim pertamanya bersama Arsenal. Pencapaiannya tersebut menganugerahkan dirinya sebagai pemain muda terbaik musim 2018/2019.

Di musim ini, Arsenal kembali mengorbitkan nama-nama baru seperti Gabriel Martinelli dan Bukayo Saka. Saka sendiri bukan nama asing untuk Arsenal. Pasalnya ia sudah melakukan debutnya di musim yang sama dengan kedatangan Guendouzi. Namun, di musim ini, dirinya mencuri perhatian dengan performa apiknya bersama Arsenal. Mengemas 39 laga di semua kompetisi, ia menorehkan 4 gol dan 11 assist, sehingga menobatkan dirinya sebagai pemain muda terbaik Arsenal untuk musim ini. Gabriel Martinelli pun tidak kalah mengesankannya dengan Saka. Di musim perdananya ia memainkan 26 laga dengan torehan 10 gol dan 4 assist. Bahkan gol solo run-nya melawan Chelsea Januari lalu dinobatkan sebagai Goal of The Season Arsenal musim ini, mengalahkan sepakan keras Willock ke gawang Liverpool dan aksi individual Aubameyang yang membuat Zouma salah arah. Sayang pemain berusia 19 tahun itu harus menutup musim perdananya bersama Arsenal dengan tidak menyenangkan. Ia mengalami cedera lutut saat latihan pada Juni lalu. Hal ini selain membuat dirinya menutup musim pertamanya dengan cepat, ia dipastikan absen pada paruh pertama musim depan dan diperkirakan baru bisa merumput pada awal tahun 2021.

Selain Gabriel Martinelli dan Bukayo Saka, pemain muda lainnya juga tidak kalah dengan dua nama di atas seperti Joe Willock, Nketiah, Maitland-Niles, dan Reiss Nelson. Walau tidak seimpresif dua pemain di atas, namun pada musim ini pemain-pemain tersebut sudah diberikatn menit bermain regular. Rata-rata para pemain muda ini sudah mencatatkan lebih dari 1000 menit di semua kompetisi yang dilakoninya musim ini. Tentu, ini membuktikan bahwa anak-anak muda ini sudah sedikit mendapat tempat di skuat utama Arsenal. Banyaknya pemain muda di skuad Arsenal musim ini bisa dibilang menjadi periode terbaik klub London Utara itu menghasilkan pemain muda potensial di satu musim.

Arsenal memang dikenal sebagai tim yang selalu mengorbitkan pemain mudanya menjadi pemain hebat di masa mendatang. Setiap tahunnya pasti selalu ada minimal satu atau dua pemain muda yang bersinar di Arsenal. Kehebatan Arsenal dalam menciptakan pemain bintang ini tentunya sudah dibuktikan dengan banyaknya pemain dari hasil didikannya. Pertanyaannya adalah, bagaimana Arsenal selalu dapat mengorbitkan pemain bintang tiap tahunnya?

Arsenal yang sekarang kita kenal tentunya buah dari kerja keras Arsene Wenger. Setelah mengabdi selama 22 tahun, ia merevolusi banyak hal di Arsenal. Yang paling mencolok adalah filosofi wenger tentang bagaimana ia selalu berani memainkan banyak pemain muda di Arsenal. Kepercayaan Wenger dengan para pemain mudanya adalah salah satu contoh yang membuat Arsenal lekat dengan julukan ‘Young Gunners’. Bahkan ketika di akhir eranya, ia lebih senang memainkan pemain mudanya untuk selalu mendapat andil lebih besar di Arsenal. Contohnya saat Arsenal harus melawat ke Old Traffod di tahun 2018 yang mana merupakan laga terakhir Wenger di kandang Manchester United itu. Total terdapat tujuh pemain muda di dalam skuat Arsenal kala itu. Walaupun harus ditekuk dengan skor 2-1, Wenger mengaku bangga dengan para pemain mudanya. Ia menilai skuat muda yang ia turunkan tidak takut dengan nama besar yang ada pada Manchester United. Tingkat kepercayaan Wenger inilah yang terus membuat Arsenal menciptakan banyak pemain muda berbakat tiap tahunnya. Sampai akhirnya ia meninggalkan klub, ia berpesan ‘Jagalah nilai-nilai klub yang telah dibangun’. Sesuai dengan semboyan Arsenal, Victoria Concordia Crescit. Setelah Wenger pergi pun, Arsenal mencari sosok yang tetap berada pada nilai-nilai tersebut, dimulai dari diri Unai Emery dan Mikel Arteta. Terbukti nilai-nilai tersebut masih dijalankan oleh kedua pelatih dengan bersinarnya nama-nama pemain muda di bawah dua komando pelatih penerus Wenger.

Kunci dari banyaknya pemain muda yang bersinar di Arsenal, selain dikarenakan filosofi Arsene Wenger juga terdapat faktor lain yang menunjang hal tersebut yaitu kecerdikan pemandu bakat dan kualitas akademi. Dikutip dari Bleach Report, kehebatan Arsenal dalam memaksimalkan pemandu bakatnya merupakan salah satu factor penting dalam kemajuan tim untuk mendapatkan banyak pemain berbakat. Ketika banyak tim-tim besar memanfaatkan kekuatan finansial untuk memperkuat kedalaman skuadnya, Arsenal masih setia dengan penggunaan scouting untuk mendapatkan pemain barunya.

Pada tahun 2008, kepala pemandu bakat Arsenal saat itu, Steve Rowley pernah menjelaskan ia memiliki banyak pemandu bakat rahasia yang tersebar di hampir seluruh belahan dunia. Di Inggris sendiri ia menjelaskan terdapat 12 pemandu bakat yang tersebar seantero negeri. Sedangkan metode yang berbeda di terapkan di luar Inggris. Untuk pemandu bakat yang ditempatkan di luar inggris, mereka memiliki daerah kekuasaannya sendiri untuk melakukan pengintaian. Hal ini dilakukan agar pemandu bakat tersebut dapat membuat jaringannya lebih luas baik dengan banyak stakeholder klub yang ada pada daerah cakupannya. Hal ini tentunya untuk memudahkan pemandu bakat untuk dapat mencari pemain bertalenta secara maksimal.

Selain menggunakan intuisinya, pemandu bakat di Arsenal dimudahkan dengan adanya StatDNA, sebuah perusahaan statistik berbasis analisis pertandingan sepak bola. Tidak seperti statistik pada pertandingan bisa, StatDNA berfokus pada banyak indikator yang dihitung berdasarkan kebutuhan dari klub. Kita tentunya sudah biasa melihat statistic seperti daya jelajah pemain sepakbola dan berapa banyak menit bermainnya. Namun, di StatDNA indikator yang dimasukan lebih detail dari apa yang pernah diperlihatkan sebelumnya. Contohnya seperti seberapa sering pemain lawan berlari mendekati pemain yang sedang memegang bola sampai seberapa sering pemain tersebut ke luar dari posisinya. Tentunya hal ini sangat berguna untuk para pemandu bakat dalam mengintai pemain incarannya. Namun hal ini tidak serta merta dijadikan acuan para pemandu bakat untuk merekrut pemain incarannya. Faktor di luar lapangan pun merupakan hal penting sebagai pertimbangan bagaimana pemain tersebut nantinya beradaptasi.

Ketika pemandu bakat menemukan pemain yang menjanjikan, yang harus dilakukannya adalah untuk menelfon kepala pemandu bakat. Kepala pemandu bakat nantinya akan mendengarkan laporan dari scoutingnya yang dirasa menarik. Bila menarik, kepala pemandu bakat nantinya akan menyuruh untuk melihat bagaimana progress dari pemain yang diintai. Nantinya, ia juga akan mengintruksikan pemandu bakat lainnya untuk melihat pemain tersebut. barulah ketika pemandu bakat yang lain mengabarkan hal yang sama dengan pemandu bakat sebelumnya, kepala pemandu bakat ini akan langsung terbang dan melihat bagaimana pemain intaiannya bermain. Setelahnya barulah kepala pemandu bakat melaporkan pemain intaiannya ke manager untuk berdiskusi, apakah pemain ini layak didatangkan atau tidak. Ketika dirasa sudah cocok, barulah tim negosiator merampungkannya dengan cepat. Hal ini untuk mencegah pemain yang telah diintai diambil oleh klub lain. Untuk lebih meyakinkan pemain intainnya, terkadang beberapa pemain akan datang langsung ke London untuk berbicara dengan beberapa petinggi dan melihat fasilitas apa saja yang ada di sana. Ditambah reputasi Arsenal yang selalu menurunkan tim mudanya di ajang kompetisi kedua, menjadi pertimbangan yang menarik untuk pemain yang akan bergabung ke sana.

Perjalanan untuk menciptakan pemain bintang tidak habis setelah pemain itu didatangkan ke Arsenal. Langkah berat lainnya adalah bagaimana untuk mengembangkan potensi dari pemain ini untuk dapat unjuk kebolehan di Arsenal. Salah satu contohnya adalah dengan menempatkan pemain muda ini di dalam Akademi. Ya, bersama pemain akademi lainnya, pemain tersebut harus memperebutkan satu posisi di skuat utama. Untuk bermain di skuat utama bukan hanya urusan kualitas permainan, melainkan juga bagaimana kebutuhan tim utama saat itu. Untuk itulah Ljunberg ditarik sebagai asisten pelatih Arteta, salah satu tugasnya adalah untuk mengetahui pemain akademi mana saja yang sekiranya dapat meningkatkan kualitas permainan Arsenal sesuai dengan posisi yang dibutuhkan.

Arteta tentunya sudah memiliki cara untuk mengembangkan pemain mudanya. Seperti apa yang dilakukan oleh Wenger, Ia ingin menambah banyak pemain berpengalaman dalam skuat Arsenal saat ini. Dibuktikan dengan kedatangan Willian di Arsenal yang menambah kualitas pemain yang berpengalaman dalam skuat Arsenal. Wenger sendiri memang sering memasukan banyak menurunkan pemain muda dan berpengalaman di suatu laga secara bersamaan. Hal ini menurut Wenger adalah kominasi yang baik untuk dilakukan untuk menambah pengalaman dari pemain muda.

Namun tampaknya regenerasi Arsenal untuk selalu mendatangkan pemain berbakat potensial mulai berkurang. Hal ini tidak terlepas dari pemecatan Francis Cagigao dan jajaran staff kepanduan lainnya akibat dampak finansial yang terjadi pada kubu Arsenal. Ya walaupun bukan suatu pembenaran bahwa Arsenal tidak akan memperoleh pemain muda terbaiknya, hal ini sebagai indikasi turunnya kualitas pemain muda yang ada di Arsenal. Ya kita lihat saja, pemain mana lagi yang akan diorbitkan oleh Arsenal.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani


Referensi:

https://www.goal.com/en/news/who-is-arsenals-young-player-of-the-season/1oht02zs7t2p17cmzampx65d2

https://paininthearsenal.com/2020/01/29/arsenal-greatest-crop-young-players/

https://www.google.com/amp/s/syndication.bleacherreport.com/amp/1866334-arsenals-scouting-network-and-how-arsene-wenger-locates-talent.amp.html

https://www.google.com/amp/s/syndication.bleacherreport.com/amp/29326-arsenals-scouting-network-revealed.amp.html

https://arseblog.news/2020/08/report-arsenal-sack-head-of-international-scouting/

https://www.google.com/amp/s/amp.theguardian.com/football/2014/oct/17/arsenal-place-trust-arsene-wenger-army-statdna-data-analysts

https://highbury-house.com/2018/08/27/the-worst-deal-ivan-gazidis-secured-not-unai-emery/

https://www.google.com/amp/s/www.nytimes.com/2017/02/03/sports/soccer/arsenal-arsene-wenger-analytics.amp.html

https://www.google.com/amp/s/syndication.bleacher…

https://ligalaga.id/kick-off/maksimalkan-pengembangan-akademi-arsenal-buat-tim-transisi/

https://sport.detik.com/sepakbola/uefa/d-3662954/perpaduan-pemain-senior-dan-pemain-muda-arsenal-puaskan-wenger

Senin, 17 Agustus 2020

Kiprah Raul Sanllehi di Arsenal

Kiprah Raul Sanllehi di Arsenal

Pada bursa musim transfer panas musim lalu, fans Arsenal dikejutkan dengan apa yang dilakukan oleh pihak manajemennya. Tidak seperti biasanya, Arsenal menggelontorkan begitu banyak uang dalam satu periode bursa transfer. Tak tanggung-tanggung, £150 Juta dikeluarkan dari brankas Arsenal yang sudah usang. Angka yang melewati duo Machester yang seyogyanya selalu pada daftar tim terboros di bursa transfer. Para fans pun keranjingan dengan agresifitas Arsenal di periode tersebut. Bagaimana tidak, fans yang biasanya harus melihat tim pesaing mendatangkan banyak pemain penting, kini mereka rasakan sendiri. Tentunya, pada bursa transfer panas musim kala itu merupakan rekor pengeluaran terbesar Arsenal selama klub itu berdiri. Tidak hanya itu, rekor lainnya muncul saat Arsenal mendatangkan Nicolas Pepe dari Lille seharga £72 Juta. Nilai yang memceahkan rekor sebelumnya yang dipegang oleh Aubameyang (£65 Juta). Yup, aksi menakjubkannya di Lille membuat manajemen Arsenal kepincut dengan pemain berkebangsaan Perancis itu. Pepe diharapkan menjadi ujung tombak dari proyek penguatan skuat bersama rekrutan lainnya seperti David Luiz, Dani Ceballos, Gabriel Martinelli, Kieran Tierney, dan William Saliba.

Tentu, pihak manajemen memiliki alasan tersendiri untuk mendatangkan beberapa pemain ini. Menurut pihak manajemen, kekalahan dari Chelsea di final UEL 2018 merupakan titik balik dari rekontruksi penguatan skuat Arsenal secara besar-besaran. Menilik dari kekalahan tersebut, terlihat skuat Arsenal kewalahan menghadapi Chelsea di babak kedua. Jomplangnya kekuatan skuat Arsenal kala itu membuat pihak manajemen berbenah untuk memperbaiki skuatnya. Pihak manajemen merasa bahwa Arsenal harus kembali ke jalur persaingan gelar juara dan tidak boleh ketinggalan dari para pesaingnya. Banyak kalangan yang menilai bahwa pembelanjaan masif Arsenal di musim lalu dikarenakan dorongan fans yang menuntut adanya perubahan. Belum lagi berhembus kabar bahwa dana yang dimiliki Arsenal hanyalah £45juta untuk terjun di bursa transfer. Namun pihak manajemen menyangkal hal tersebut. Pihak manajemen berkali-kali mengatakan bahwa kabar tersebut bukan dari pihak Arsenal. Menurutnya apa yang dilakukannya pada bursa transfer musim lalu murni karena keinginnan para petinggi untuk membawa Arsenal kembali ke masa jayanya. Ya walaupun hasilnya pada musim ini kurang baik, namun kerja keras para petinggi Arsenal patut diacungi jempol. Manajemen yang sekarang sudah mendobrak stigma negatif yang ada di klub ini.

Dibalik kesuksesan transfer Arsenal musim lalu, terdapat nama-nama penting yang memiliki andil dalam hal tersebut. Nama-nama seperti Raul Sanllehi dan Edu Gaspar misalnya, mereka adalah orang yang berjasa dalam perekrutan pemain Arsenal musim lalu. Orang-orang tersebut merupakan wajah baru dijajaran para staff Arsenal. Raul menempati posisi Director of football dan Edu Gaspar sebagai Tecknical Direktor. Kedatangan orang-orang ini tentunya merupakan hal baru untuk Arsenal. Bagaimana tidak? Saat Era Wenger tidak ada posisi demikian. Wenger beralasan bahwa adanya staff tersebut malah mengganggu pergerakan dari pelatih utama. Namun disatu sisi, keberadaan staff-staff ini diperuntukan membantu kerja dari pelatih utama agar lebih focus pada bidangnya masing-masing.

Raul Sanllehi misalnya, ia adalah salah satu staff Arsenal yang berposisi sebagai director of football. Tugas dari Direktur Sepakbola adalah untuk menjembatani pihak manajemen dengan pelatih utama. Selain itu, Direktur Sepakbola juga berperan mengurus berbagai jenis perekrutan yang akan terjadi pada tim. Raul sendiri memang sudah tidak asing lagi dengan jabatan ini. Sebelumnya, ia pernah menjabat dengan jabatan serupa di Barcelona. Ia berperan pada perekrutan pemain ternama seperti Alexis Sanchez dan Neymar. Namun akhirnya ia dipecat karena tidak dapat meyakinkan Neymar untuk tidak hengkang dari Barcelona. Hal tersebutlah yang membuat Arsenal menunjuk Edu Gaspar sebagai Direktur Teknik. Tugasnya adalah untuk membantu kerja dari Direktur Sepakbola dan juga pelatih utama dalam memberikan masukan-masukan untuk setiap langkah yang akan diambil. Tentu hal ini untuk meminimalisir kesalahan yang terjadi baik untuk pelatih dan Direktur Sepakbola.

Berkat kepiawan Raul Sanllehi, Arsenal dapat mendapatkan banyak pemain hebat di bursa musim panas musim lalu. Ia menggunakan metode installment plan atau cicilan dalam setiap negosiasinya. Dikutip dari akun twitter Ramble Swiss, nyatanya dalam transfer kemarin Arsenal tidak serta-merta mengeluarkan uang sebesar 150 juta pouns. Arsenal hanya merogoh kocek 46 juta pounds, menariknya angka ini sama dengan kabar tentang nominal budget awal Arsenal. Angka tersebut di dapat dengan menghitung uang muka yang harus dibayarkan Arsenal pada bursa musim panas tahun lalu. Nicolas Pepe 20 juta pounds, William Salliba 5 juta pounds, Tierny 10 juta pounds, martinelli 2 juta pounds, dan Dani Ceballos 5 juta pounds. Trik ini memang sudah biasa di sepakbola eropa seperti pada transfer Pogba (MU) dan Coutinho (Barcelona). Cara cerdik ini dibarengi dengan kepiawaian Edu Gaspar dalam melobi pemain yang akan didatangkan Arsenal. Seperti David Luiz dan Gabriel Martinelli yang datang berkat kepiawaian Edu memikat hati pemain tersebut.

Namun di musim ini sepertinya transfer musim lalu sulit terwujud, Pandemi Corona yang merusak ekonomi global menjadi alasannya. Bahkan efek dari pandemic ini, Arsenal harus memecat 55 karyawannya. Bahkan hal tersebut tetap harus dilakukan walaupun pemain Arsenal sudah mendapat pemotongan gaji. Belum lagi dengan jumlah cicilan yang dilakukan pada musim transfer musim panas kemarin, rasa-rasanya seperti memupus harapan Arsenal untuk mendatangan pemain top. Jalan satu-satunya hanyalah mendatangkan pemain melalui pinjaman ataupun pemain yang sudah habis kontraknya, seperti apa yang dilakukan Arsenal pada transfer Willian.

Kabar terbaru, Raul Sanllehi dipecat dari posisi Director of football. Menurut peryataannya di situs resmi Arsenal, pemecatannya ini dikarenakan adanya perampingan tambahan menyusul pemecatan 55 karyawan non teknis yang ada di Arsenal. Menurut penulis, wajar Raul Sanllehi dipecat oleh pihak Arsenal. Efek domino dari pembelanjaan besar-besaran Arsenal musim lalu membuat Arsenal menanggung beban finansial entah dari cicilan pemain maupun gaji para pemainnya ditambah efek pandemic yang membuat pendapatan dari penjualan tiket, hak siar, maupun komersil makin berkurang. Belum lagi pada masalah cicilan bursa transfer musim lalu dan gaji para pemainnya yang terlalu tinggi padahal sudah mengalami pemotongan 12.5%. Bahkan sebelum pandemic, Arsenal telah melaporkan bahwa timnya telah kehilangan £27.1 pada bulan Desember. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Sanllehi merupakan salah seorang yang bertanggung jawab atas hal diatas.

Posisi Sanllehi nantinya akan digantikan oleh Vinai Venkateshem yang mana artinya sistem jajaran Arsenal akan kembali seperti layaknya Ivan Gazidiz musim lalu. Untuk urusan transfer hanya akan melibatkan Direktur Teknik Edu Gaspar dan Mikel Arteta. Hal ini membuat Arteta memiliki kuasa lebih besar untuk mengatur pemain-pemain mana saja yang dibutuhkan untuk Arsenal.

Namun dengan kepergian Sanllehi, Arsenal kehilangan sosok yang mana dekat dengan beberapa agen di dunia. Di era Sanllehi, Arsenal memang lebih suka mendatangkan pemain melalui koneksi dengan agent para pemain ternama dibandingkan dengan Analisa dari scout dan data. Dilansir dari Football London, kepergian Sanllehi akan berdampak pada rumor transfer Coutinho di Barcelona mengingat Sanllehi memiliki jaringan yang bagus dengan agennya, Kia Joorabchian. Terlihat dari bagaimana Arsenal dapat meminjam Denis Suarez pada musim lalu, Walaupun menurut Mislintat kedatangan Denis Suarez tidak sesuai kebutuhan tim. Transfer-transfer Arsenal belakangan ini pun berdasarkan koneksi Sanllehi dengan Kia, contohnya seperti David Luiz dan Willian. Tentu dengan ketidak hadiran Sanllehi, Arsenal tidak dapat mewujudkan hal tersebut.

Sekarang saatnya Arsenal lebih melangkah ke depan, di bawah rekontruksi jajaran yang lebih sederhanan tentunya membuat effesiensi pemutusan suatu kebijakan. Ya kita lihat saja bagaimana kiprah Arsenal di era rekontruksi yang baru.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani


Referensi:

https://ligalaga.id/football-culture/mengenal-peran-director-football-2-sporting-director-dan-jawaban-perkembangan-zaman/

https://www.sportbible.com/football/news-reactions-arsenals-140m-summer-spending-spree-explained-in-a-twitter-thread-20190813

https://tirto.id/sosok-kunci-atas-kesuksesan-arsenal-di-bursa-transfer-efXc

https://www.football.london/arsenal-fc/news/raul-sanllehi-releases-statement-arsenal-18776530.amp?__twitter_impression=true

Senin, 10 Agustus 2020

LIKA LIKU KEBIJAKAN TRANSFER ARSENAL

LIKA LIKU KEBIJAKAN TRANSFER ARSENAL

Bila mendengar kata Arsenal pasti ada satu pesan yang terbesit dalam benak tiap-tiap supporter sepakbola seperti tim ini adalah tim besar, klub yang memiliki sejarah yang panjang, dan masih banyak lainnya. Tapi pasti kita semua setuju bahwa tim ini adalah tim yang pelit saat dihadapkan dengan bursa transfer pemain. Tiap tahun manajemen Arsenal selalu d6ikecam oleh berbagai golongan karena kebijakannya tersebut. Di saat tim-tim besar melakukan perombakan besar-besaran untuk membenahi timnya, Arsenal cenderung pasif dalam melakukan pergerakan untuk membeli pemain.

Semuanya bermula dengan kehadiran Arsene Wenger pada tahun 1996. Datang dari klub antah-berantah, banyak fans yang meragukan kualitas manajer berpaspor Prancis itu. Seiring berjalannya waktu nyatanya keraguan itu mulai luntur ketika ia dapat mengantarkan Arsenal meraih gelar Premier League-nya yang pertama pada tahun 1998. Selain itu Wenger juga mempersembahkan trofi FA Cup dan Community Shield di tahun yang sama. Hebatnya, kala itu Arsenal memenangkan liga dengan nama-nama yang kurang familiar. Namun berkat sentuhan Wenger, nama-nama seperti Anelka, Petit, Bergkamp, dan Viera mulai mencuat ke permukaan sebagai pemain yang mempunyai kualitas jempolan. Mulai dari situlah awal dari citra Arsenal sebagai klub yang menghasilkan pemain bintang.

Peran Wenger tentunya memiliki andil besar dalam pesatnya perkembangan Arsenal di tanah britania. Tidak seperti klub lainnya, Wenger mempunyai jalan sendiri untuk meraih kesuksesannya di Arsenal. Ketika pelatih lain berlomba-lomba mencari nama besar untuk memperkuat timnya, Wenger lebih tertarik mendatangkan pemain muda/pemain setengah jadi yang tentu harganya tidak semahal pemain-pemain yang memiliki nama besar namun memiliki kualitas yang dapat bersaing dengan jajaran pemain top lainnya. Kejelian mata Arsene Wenger ini yang membuat Arsenal selalu mencetak pemain bintang setiap tahunnya. Memadukan pengalamannya dengan pemain senior lainnya, Wenger berhasil menempa pemain muda Arsenal untuk terus berada ke puncak performanya. Belum lagi dengan penguasaan tujuh bahasanya membuat dirinya dapat lebih dekat dengan pemain-pemainnya. Berkat kepiawannya tersebutlah ia dijuluki sebagai The Proffessor.

Wenger memang memiliki folosofi tersendiri untuk urusan transfer pemain. Bila dijabarkan secara terinci, terdapat empat indikator untuknya mendaratkan pemain ke Arsenal. Memberikan dampak terhadap tim, berusia muda, berharga miring dan nantnya bisa memiliki nilai jual yang tinggi. Diawal masa kepelatihannya, Wenger memang tidak pernah tergoda untuk mendatangkan pemain bintang. Menurutnya kedatangan pemain bintang hanya membuat para fans berekspetasi lebih banyak pada pemain tersebut sehingga memberikan tekanan terhadap pemain. Sebaliknya, bila pemain tersebut tidak terlalu terkenal maka beban yang dipikul tidak lah besar. Hal tersebutlah yang membuat banyak pemain muda Arsenal terus berkembang sehingga dapat bersaing dengan nama-nama besar lainnya.

Ambisi Wenger untuk membawa Arsenal untuk menjadi tim papan atas liga inggris sangatlah besar. Selain merusak dominasi Liverpool dan Manchester United di dalam lapangan, ia bertekad untuk meneruskan dominasinya di luar lapangan. Manchester United tentunya tim yang memiliki garis keturunan supporter yang amat banyak. Dukungan para supporter yang sangat besar itulah yang membuat United memiliki sokongan kekuatan finansial yang amat besar. Dibandingkan Arsenal, MU kala itu memiliki kekuatan finansial bagaikan langit dan bumi dengan para kompetitornya. Melihat hal tersebut Wenger pun tidak tinggal diam, beribu cara ia pikirkan untuk setidaknya mengimbangi kekuatan finansial United. Akhirnya tercetuslah ide dari Wenger untuk membuat stadion baru. Menurut Wenger, cara ini adalah cara satu-satunya untuk mendongkrak kekuatan finasial dari Arsenal. Setelah mendesak dan mendiskusikan dengan para petinggi Arsenal, akhirnya pembangunan stadion pun terlaksana dengan memakan waktu dua tahun, dalam rentang waktu 2004-2006 yang mana sekarang dikenal dengan Emirates Stadium.

Pembangunan Emirates yang usai pada 2006 tentunya membawa warna baru Arsenal. Stadion berkapasitas 60.000 kursi ini membuat Arsenal semakin dikenal oleh banyak pihak. Hal ini menimbulkan engagement terhadap fans-fans sepakbola yang ada untuk memilih menjadi Gooners, sebutan untuk para fans Arsenal. Belum lagi dengan infrastruktur yang tergolong lengkap tentunya menunjang pembangunan klub kea rah yang lebih baik. Namun, pembangunan stadion ini bagai pisau bermata dua. Dibalik kemegahannya, pembangunan stadion yang menjadi tanggung jawab para petinggi Arsenal beserta Wenger ini dibangun dengan hutang dari berbagai bank yang ada di tanah Britania. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, hampir mencapai 390 juta pundsterling. Ya kalau dirupiahkan dengan kurs sekarang bisa mencapai 7,4 trilliun. Angka yang sangat fantastis untuk pembangunan sebuah stadion di Inggris.

Para petinggi dan Arsene Wenger pun pastinya sudah paham dari konsekuensi akan keputusan membangun Emirates Stadium. Pemotongan anggaran belanja pemain Arsenal sudah pasti tidak terelakan lagi karena harus membagi pendapatannya untuk mencicil pembayaran hutang stadion. Namun Wenger tentu sudah punya solusi dari permasalahan tersebut, yakni dengan melego para pemain bintangnya untuk menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran klub. Banyak nama-nama besar yang sudah menjadi korban keganasan dari sistem ini seperti Thiery Henry, Joes Antiano Reyes, Alexandre Hleb, Emanuel Adebayor, Kolo Toure, Cesc Fabregas, Samir Nasri, Gael Clichy, Alex Song, Carlos Vela, hingga Robin Van Persie. Akibatnya selama sembilan musim Arsenal harus menahan dahaga akan trofi juara. Banyak yang mengecam tindakan Wenger yang selalu menjual pemain bintangnya, kendati sudah mendatangkan pengganti pemain bintang yang hengkang. Alasannya karena Wenger yang terkesan irit dan pasif dalam bursa transfer membuat Arsenal selalu tertinggal dengan para kompetitornya. Belum lagi dengan pemain yang didatangkan cenderung pemain muda yang belum berpengalaman atau pemain-pemain yang tidak memiliki nama besar sehingga dinilai tidak dapat membawa Arsenal dalam persaingan menuju tangga juara. Hal inilah yang menjadi keresahan setiap pendukung Arsenal dan awal dari stigma ‘pelit’ pada klub ini.

Arsene Wenger tentunya sadar bahwa filosofinya saat ini sudah mulai usang. Dia tidak dapat terus menerus mengandalkan pemain antah berantah untuk dapat menyaingi kompetitor lainnya. Faktanya, di sepak bola modern semuanya dapat lebih mudah bila memiliki kekuatan finansial yang memadai. Terbukti dengan kedatangan Abrahamovic dan Sheik Mansour yang mengubah tim sekelas Chelsea dan Manchester City, menjadi tim yang dapat bersaing dengan level domestik dan Eropa. Namun Arsene Wenger tidak serta merta terbawa arus untuk mengerahkan seluruh kekuatan finansialnya seperti halnya Chelsea dan Manchester City. Wenger membuang separuh ideologinya dalam kebijakan transfernya. Dalam arti lain ia memberikan proporsi sendiri pada tiap indikatornya. Wenger yang sekarang akan melakukan pembelanjaan pemain ketika pemain tersebut dapat memberikan dampak yang besar terhadap tim. Terbukti dengan kedatangan Mesut Oezil, Alexis Sanchez dan Pierre Emerick Aubameyang rasanya sudah memberikan jawaban pasti terhadap kebijakan transfer Wenger yang sudah berevolusi menyesuaikan zaman. Meski Wenger tetap dikritik walaupun sudah mendatangkan berbagai pemain bintang karena masih dianggap pelit tidak seperti kompetitornya, ia tetap bersikukuh bahwa transfer pemain hanya dilakukan pada lini yang dianggapnya kurang.

Selepas lunasnya hutang Emirates Stadium dan mulai datangnya pemain bintang di Arsenal, perlahan Arsenal mulai bangkit dari masa suramnya. Tiga gelar piala FA dan tiga gelar Community Shield merupakan bukti konkret dari kesabaran Arsenal. Arsenal bahkan memiliki kans untuk menjuarai Premier League di musim 2015/2016. Namun sayang, musim itu lebih berpihak pada Leicester City, walaupun kita dapat mengalahkannya di laga tandang maupun kendang. Selain itu nyatanya Arsenal masih konsisten berada di jalur kompetisi Eropa, ya walapun hanya menjadi tim yang meramaikan kompetisi tersebut.

Pencapaian-pencapain yang diraih Arsenal di masa Wenger ternyata masih belum bisa menghapuskan dahaga para fans terhadap kejayaan timnya di kompetisi domestic. Para fans pun banyak yang menggaungkan untuk menurunkan jabatan Wenger dari kursi kepelatihan Arsenal. Menurut mereka, Wenger sudah cukup lama mengabdi untuk Arsenal dan sudah saatnya untuk ia pergi secara baik-baik. Namun terdapat juga fans yang masih berharap pada pelatih berpaspor prancis itu karena dirasa masih bisa bersaing di papan atas. Akibatnya terjadi pepecahan pada kedua fans Arsenal antara kubu WengerOut dan In Arsene Wenger We Trust. Perpecahan tersebut nyatanya sudah lama terjadi di kubu Arsenal, namun lebih digaungkan pada tahun 2017 ketika Arsenal untuk pertama kalinya finish di luar zona Champions League dalam 20 tahun terakhir. Akhirnya setahun setelahnya Wenger memilih untuk pensiun setelah perjalanan panjangnya di klub yang ia besarkan.

Kepergian orang yang sangat penting tentunya sulit untuk mencari penggantinya. Petinggi Arsenal mencoba menunjuk Unai Emery sebagai penerus dari Arsene Wenger. Selain itu, Arsenal menunjuk beberapa staff baru untuk membantu kinerja Unai Emery seperti Sven Mislintat sebagai head of recruitmen dan Raul Sanheli sebagai director of football. Namun, dibalik perekrutan wajah-wajah baru dari para petingginya, Arsenal juga harus kehilangan CEO-nya Ivan Gazidis. Mundurnya Gazidis dari kursi CEO tentunya menjadi tanda tanya besar karena orang yang berpengaruh dalam penunjukan Unai Emery sebagai pelatih adalah dirinya. Gadzidis beralasan bahwa masa baktinya bersama Arsenal sudahlah usai, dan sudah saatnya untuk ia mencari tantangan baru. Posisi yang ditinggal Gazidis selanjutnya diisi oleh Josh Kroenke, anak dari pemilik klub yaitu Stan Kroenke.

Kedatangan wajah-wajah baru di petinggi Arsenal membuat pendekatan yang dilakukan tentunya berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Wenger. Arsenal mulai berani menggelontorkan banyak dananya untuk merekrut berbagai pemain. Terhitung dari kepergian Wenger sampai sekarang, Arsenal sudah menggelontorkan dana sebesar 240 jua euro, bahkan Arsenal merupakan tim yang paling boros pada bursa transfer musim panas lalu. Pembelanjaan besar-besaran ini tentunya didasari dari banyaknya pemain inti yang mulai hengkang seperti Koscielny, Petr Cech, Nacho Monreal, dan Aaron Ramsey. Kedatangan nama-nama seperti Bernd Leno, David Luiz, Dani Ceballos, Nicolas Pepe dan pemain muda lainnya, tentunya diproyeksikan sebagai pengisi posisi yang ditinggalkan pemain pilar Arsenal sebelumnya. Tentunya hal ini dilakukan untuk bukti keseriusan manajemen Arsenal untuk dapat bersaing dengan klub papan atas lainnya.

Namun hasil yang didapat tidak seperti dengan apa yang diharapkan. Arsenal terlebih dahulu kehilangan Sven Mislintat dari posisi staff head of recruitment. Mislintaat kesal dengan kerja kerasnya yang tidak dihargai oleh para petinggi Arsenal. Padahal Mislintat dikenal sebagai orang yang memiliki andil besar dalam pembentukan skuat Dortmund di tahun 2011. Kehilangan Mislintat tentunya menjadi pukulan bagi Arsenal, posisinya kemudian digantikan oleh mantan pemain dari Arsenal, Edu Gaspar. Masalah kemudian datang ketika transfer yang dilakukan di musim panas kemarin tidak terlalu berdampak besar pada klub. Di awal musim, Arsenal harus terseok-seok di ajang domestic maupun eropa. Hal ini membuat manejemen Arsenal memecat Unai Emery dari kursi kepelatihan dan digantikan oleh Mikel Arteta.

Beberapa bulan setelah dipecat, Emery membeberkan bagaimana kebijakan transfer yang ada di Arsenal. Ia menjelaskan bahwa transfer yang dilakukan oleh klub harus dirundingkan dengan petinggi lainnya yaitu Raul Sanlehi dan Edu Gaspar. Hal ini tentunya membuat Emery tidak dapat bebas melakukan pembelian pemain. Bahkan menurut Emery sendiri kedatangan Nicolas Pepe bukanlah pemain yang ingin ia datangkan. Hal itu merupakan keinginan dari pihak manajemen. Wenger sendiri memang pernah mengecam tentang adanya wacana pembuatan staff untuk perekrutan pemain. Menurutnya hal ini membatasi ruang gerak pelatih dalam menentukan pemain yang akan didatangkannya. Di era Wenger dulu, ia turun langsung dalam hal perekrutan pemain. Ia diberi kebebasan karena pemilik Arsenal sendiri pun, Stan Kroenke sangat percaya pada dirinya. Namun dimasa sekarang, Arsenal harus berunding dan satu suara dalam hal perekrutan pemain. Jangan sampai hal yang terjadi pada transfer Nicolas Pepe terulang. Sedikit menyulitkan memang, namun tentunya terdapat niat baik di dalamnya. Dengan adanya banyaknya kepala, tentunya menghindarkan Arsenal dari pembelian yang terkesan mubazir.

Sayangnya di era Arteta ini, ia harus dihadapkan dengan kondisi Arsenal yang sedang rapuh. Hasil buruk yang di alami Arsenal baik di kompetisi domestik maupun eropa berpengaruh pada kekuatan finansial klub tersebut. Belum lagi dengan kondisi ekonomi yang suram karena pandemic membuat Arsenal harus mem-PHK 55 karyawannya untuk dapat terus berinvestasi pada skuat Arsenal. 

Ya kita lihat saja bagaimana kelanjutan dari kebijakan Arsenal di era Arteta ini, mengingat Arteta sudah membuktikan kualitas dirinya dengan membawa Arsenal meraih gelar di masa terpuruknya.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani

Sumber

Senin, 03 Agustus 2020

JALAN PANJANG ARSENAL DI FA CUP

JALAN PANJANG ARSENAL DI FA CUP

Arsenal baru saja memenangkan gelar FA Cup setelah mengalahkan Chelsea dengan skor 2-1 di Wembley Stadium. Hasil ini menambah koleksi trofi mereka di ajang tersebut dengan raihan 14 trofi, angka terbanyak dari klub inggris lainnya. Gelar juara ini tentunya sangat emosional bagi para pemain, pelatih, bahkan penggemarnya sekalipun. Bagaimana tidak, setelah dihadapkan musim yang amat buruk, Arsenal masih bisa mempersembahkan trofi untuk para penggemarnya, sebuah pencapaian yang impresif mengingat banyaknya masalah yang terjadi pada kubu Arsenal. Dimulai dari masalah pemain, pemecatan pelatih, hingga pelatih yang terpapar virus Corona, Arsenal seakan tidak direstui untuk meraih pencapaian apapun musim ini. Namun takdir berkata lain, kembalinya trofi FA Cup ke Emirates Stadium tentu menjadi modal yang baik untuk membangkitkan mentalitas pemain Arsenal dalam mengarungi berbagai kompetisi di musim mendatang.


Perjalanan Arsenal di FA Cup dimulai pada putaran ketiga. Hal ini dikarenakan aturan FA Cup sendiri yang baru memasukan klub kasta teratas liga inggris pada putaran ketiga. Di putaran ketiga sendiri Arsenal dipertemukan oleh Leeds United yang diasuh pelatih sensasional, Marcelo Bielsa. Tidak seperti kebanyakan klub Championship lainnya, Leeds United tampil dominan saat melawan Arsenal terutama di babak pertama, tercatat ada 15 percobaan penyerangan yang berhasil menekan tim tuan rumah di babak pertama. Melihat hal tersebut,  Arteta terlihat sangat marah dengan para skuatnya karena dirasa tidak menjalankan intruksinya dengan tepat. Padahal Arteta sendiri sudah memberitahu skuatnya Leeds akan bermain dengan cara seperti itu. Lacazette sendiri mengatakan saat turun minum babak pertama Arteta berteriak pada seluruh skuatnya, menegaskan bagaimana intruksinya agar marasuk pada tiap pemain Arsenal. Seakan termakan omongan Arteta, skuatnya tampil trengginas di babak kedua. Puncaknya Reiss Nelson berhasil menjebol gawang Leeds meneruksan umpan Pepe. Gol Nelson menjadi satu-satunya gol di laga itu, membuat Arsenal melaju ke babak selanjutnya.

Di laga berikutnya giliran Bournemuth menjamu Arsenal di Vitality Stadium. Mikel Arteta menurunkan beberapa pemain mudanya di laga ini seperti Bukayo Saka, Joe Willock, dan Nkketiah . Tim besutan Mikel Arteta langsung tancap gas di awal laga dengan gol yang dilesakan oleh Bukayo Saka dari sudut sempit. Saka kembali memiliki andil untuk gol kedua, setelah umpannya dituntaskan dengan baik oleh Nketiah. Dua goal Arsenal bertahan sampai paruh babak pertama. Bounemuth kemudian membalasnya dibabak kedua. Tepatnya saat memasuki injury time melalui gol Surridge. Gol Surridge menjadi gol terakhir pada laga ini. Dengan ini Arsenal melanjutkan perjalanan di FA Cup.

Fratton Park menjadi tempat selanjutnya yang harus disambangi Arsenal di lanjutan FA Cup melawan tim tuan ruah, Portsmouth. Catatan 19 laga tak terkalahkan di kandang sendiri menjadi modal penting untuk Portsmouth mengingat Arsenal sedang dalam tren buruk pasca tersingkir dari ajang Europa Leage di akhir bulan. Seakan melampiaskan kekesalannya, Arsenal berhasil menekuk Portsmouth di kandangnya sendiri dengan sumbangan gol Sokratis dan Eddie Nketiah. Hasil ini bertahan hingga akhir laga, membuat Arsenal mengemas dua cleansheaats dan lanjut ke babak selanjutnya.

Tim kuda hitam,  Sheffield United menjadi tim kedua yang memberikan perlawanan sengit untuk Arsenal di ajang FA Cup. Cara bermain yang sama dengan Leeds dilakukan The Blades pada Arsenal, pemainan tempo tinggi dan menekan musuh di daerah pertahanannya sendiri. Beruntung Arsenal dapat mengalahkan Sheffield berkat gol yang dilsesakan oleh Pepe dan Dani Ceballos di menit akhir. Dengan kemenangan ini, Arsenal kembali untuk merasakan megahnya Wembley di ajang ini sejak terakhir mereka rasakan pada tahun 2017 lalu.

Juara bertahan FA Cup, Manchester City, menjadi lawan selanjutnya bagi Arsenal. Bisa dikatakan laga ini adalah titik balik mentalitas Arsenal tumbuh sebagai tim. Terlihat dari bagaimana terjadinya proses gol pertama Arsenal yang melibatkan 10 pemain, Identitas tim tertuang didalamnya dengan build up apik para punggawa yang menghubungkan berbagai sektor dengan sangat padu, seperti semboyan Arsenal, Victoria Concordia Crescit, kemenangan berawal dari keharmonisan. Gol terakhir di akhi babak yang diciptakan Aubameyang menegaskan Arsenal melenggang ke babak selanjutnya, partai final. Hal ini menciptakan rekor baru pada ajang FA Cup di mana Arsenal menjadi tim yang paling banyak masuk ke dalam final FA Cup dengan total 21 kali.

Final FA Cup musim ini bagaikan De Javu untuk Arsenal karena kembali dipertemukan dengan Chelasea di partai puncak.  Masih membekas diingatan kita kekalahan Baku yang memupuskan asa Arsenal untuk meraih trofi Europa League untuk pertama kalinya. Belum lagi kekalahan tersebut membuat Arsenal harus kembali absen di ajang Champions League musim berikutnya, membuat Arsenal untuk tiga musim beruntun bermain di kasta kedua kompetisi Eropa, pemandangan yang sangat tidak wajar mengingat Arsenal selama dua dekade terakhir selalu mentas di ajang tertinggi kompetisi Eropa.

Namun, hal yang ditakutkan itu sepertinya tidak terjadi, De Javu yang terjadi lebih memihak pada tahun 2017, ketika Arsenal berhasil menundukan Chelsea di depan ribuan fansnya sendiri di stadion kebanggaan Britania, Wembley Stadium. Sempat tertinggal lewat gol cepat Pulisic, Arsenal berhasil membalikan keadaan dengan dua gol yang dilesakan oleh Aubameyang. Ya, laga berkesudahan dengan skor 2-1. Angka yang sama seperti apa yang terjadi pada tahun 2017. Belum lagi dengan insiden kartu merah yang sama-sama terjadi pada kubu Chelsea dan dipimpin oleh wasit yang sama juga, Antony Taylor. Semesta seperti mengizinkan Arsenal untuk merasakan kebahagian di tengah badai yang sedang berkecamuk pada diri Arsenal. Kemenangan ini tentunya semakin mengukuhkan Arsenal sebagai raja dari FA Cup dengan total 14 trofi, mengungguli pesaing terdekatnya Manchester United dengan raihan 12 trofi.

Walaupun menjadi juara, Arsenal tidak boleh besar kepala. Bisa dikatakan Arsenal memenangkan trofi ini berkat jerih payah dan tekad yang sudah tertanam pada diri tiap pemain Arsenal untuk memenangkan FA Cup. Namun untuk cara bermain, Arsenal masih kurang dominan mengancam gawang dari musuh-musuhnya. Lihat saja bagaimana Arsenal harus susah payah mengalahkan Leeds United. Bahkan, di laga final, sebelum keluarnya Azpilicueta dan Pulisic, Arsenal hanya dapat mengandalkan longpass pemain belakang untuk memulai serangan. Tapi menang tetaplah menang, bagaimanapun kondisinya Arsenal selalu memanfaatkan kesalahan lawan untuk dapat memenangkan setiap laga yang dilewatinya. Sekarang serahkan semuanya pada Arteta, tidak ada yang perlu diragukan lagi. Dengan capaian satu trofi di musim yang buruk tentu sudah menjadi pembuktian kualitas dari mantan kapten Arsenal ini.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani

Sabtu, 01 Agustus 2020

PENTINGNYA JUARA FA CUP MUSIM INI UNTUK ARSENAL 

PENTINGNYA JUARA FA CUP MUSIM INI UNTUK ARSENAL


Musim ini Arsenal finish di posisi ke-8 klasemen Liga Inggris. Pencapaian terburuk Arsenal sejak 25 tahun ke belakang. Belum lagi dengan buruknya performa Arsenal di kompetisi lain seperti tersingkirnya Arsenal oleh Olympiacos di Europa League dan kalah adu penalti dengan skuad muda Liverpool di Carabao Cup. Untungnya Arsenal berhasil melaju ke babak final FA Cup setelah mengalahkan Manchester City di semifinal. Nantinya dibabak final Arsenal akan menghadapi Chelsea yang dipartai lainnya telah mengalahkan Manchester United. Juara FA Cup disinyalir dapat menjadi obat penawar musim Arsenal yang buruk. Penulis jadi bertanya-tanya, seberapa penting menjuarai FA Cup bagi Arsenal?



Bermain di kompetisi eropa

Musim ini Arsenal finish diposisi ke-8 klasemen. Hal tersebut membuat Arsenal tidak dapat berlaga di kompetisi Eropa melalui skema klasemen liga. Jalan satu-satunya untuk Arsenal dapat tampil di kompetisi Eropa adalah dengan memenangkan FA Cup. Pasalnya, aturan FA Cup mengatakan bahwa pemenang kompetisi FA Cup berhak untuk mendapatkan satu tiket di Europa League. Bila Arsenal gagal memenangkan FA Cup maka sirna sudah harapan Arsenal untuk bermain di kompetisi Eropa.

Menambah pendapatan

Bila Arsenal gagal juara FA, mereka tidak mendapatkan hadiah sebesar 3,5 Juta Pounds. Namun, Arsenal tidak pulang dengan tangan hampa. Bila diakumulasikan total hadiah dari putaran ke-3 sampai babak final, Arsenal mendapatkan bonus sebesar 5 Juta Pounds. Namun tentunya pihak manajemen Arsenal akan berfikir ulang dalam menentukan budget pengeluaran Arsenal di musim mendatang. Ketidakikutsertaan Arsenal di ajang Eropa menjadi salah satu pemicunya. Wajar saja, ajang kompetisi Eropa memang menjadi salah satu pemasukan yang nilainya cukup menggiurkan, mulai dari hak siar, bonus, penjualan tiket dan lainnya. Ketidakikutsertaan ini tentunya akan mengggerus pendapatan Arsenal musim depan sehingga pihak manajemen akan sangat berhati-hati dalam menentukan budget transfer unutuk musim panas ini.

Mudah mendatangkan dan mempertahankan pemain

Salah satu alasan pemain betah untuk berlama-lama di klub adalah meraih banyak gelar di klub tersebut. Gelar juara meningkatkan rasa percaya diri pemain karena jerih payahnya selama membela klub tersebut akhirnya membuahkan hasil. Secara psikologis, bila seseorang mendapat atau meraih sesuatu dalam hidupnya, otak akan memproduksi dopamine. Dopamine ini menciptakan rasa senang pada tubuh manusia. Tentunya karena rasa senang ini, pemain akan betah berlama-lama di klub tersebut. Namun hal ini tidak menjamin bahwa pemain tidak akan meninggalkan klub tersebut, masih banyak variable lain yang harus diperhitungkan. Ya setidaknya salah satu variable telahh terpenuhi untuk bisa menjaga komitmen pemain di klub tersebut. Untuk mendatangkan pemainpun terkadang dibutuhkan nama besar untuk menggaet pemain incarannya. Seperti halnya De Jong yang bergabung dengan Barcelona untuk bermain dengan Messi, pemain bintang Arsenal seperti Aubameyang dan Mesut Oezil pun bisa jadi daya tarik tersendiri seperti apa yang terjadi pada transfer De Jong. Selain itu, Juara FA Cup yang menjamin tiket kompetisi Eropa juga jadi salah satu hal yang dipertimbangkan pemain yang akan bergabung untuk memilih suatu klub. Banyak klub memberikan jam terbang pada lapis keduanya saat bermain di kompetisi non-liga, kesempatan ini tentunya akan dimaksimalkan rekrutan anyar untuk membuktikan kemampuannya dan tak jarang mereka yang bermain impresif akan menggeser posisi pemain yang berada di tim utama.

Rasa kepercayaan fans terhadap klub meningkat

Juara FA memang memiliki kesan tersendiri untuk para penggemar Arsenal. Sejarah klub yang mencatat 13 gelar di kompetisi tersebut membentuk stigma klub bahwa Arsenal merupakan raja dari FA Cup. Oleh karenanya dengan menjuarai FA Cup rasanya akan sedikit mengobati hati para fans tentang musim buruk yang dialami oleh fans Arsenal. Terlebih hal tersebut akan semakin mengukuhkan posisi Arsenal sebagai penguasa kompetisi tertua itu.

Bila Arsenal gagal menjuarai FA Cup

Tentunya hal-hal terjadi di atas akan terjadi secara sebaliknya. Ya walaupun banyak dampak negative yang akan terjadi ke depannya, ada hikmah untuk Arsenal bila kalah dipertandingan puncak FA Cup. Salah satu contohnya adalah Arsenal akan lebih focus pada pertandingan liga domestic. Bila dimaksimalkan, mungkin Arsenal akan berada dijajaran empat besar mengingat para pesaingnya akan focus di beberapa kompetisi. Manajemen pun akan berbenah dan meninjau kembali berbagai kebijakan yang telah dilakukan pada musim ini. tulisan ini bukan untuk menakut-nakutkan para fans Arsenal yang membaca artikel ini, melainkan mengajak pembaca untuk siap dengan apa yang bisa saja terjadi di masa depan.

Jadi bagaimana Goons, yakin Arsenal akan menjuarai FA Cup?

Ditulis oleh: Robby Arsyadani