Selasa, 22 Desember 2020

AYO BANGKIT, ARSENAL!

 AYO BANGKIT, ARSENAL!

Pasukan Meriam London sedang merana. Mereka kini terjerembab ke peringkat 15 dengan hanya mengumpulkan 14 poin dari 14 pertandingan awal Liga Primer Inggris. Tentu hasil yang sangat mengecewakan. Bapak saya bahkan sampai geleng-geleng kepala ketika mengetahui Arsenal kalah dari Burnley di kandang sendiri. “Parah Nang Arsenal”, begitu gumamnya.

Bapak saja bergumam seperti itu, apalagi saya. Ketika laga melawan Burnley, saya hanya menonton saat lima menit injury time babak kedua. Namun tampaknya lima menit itu cukup menggambarkan keseluruhan pertandingan: hanya umpan ke samping kanan dan kiri, berputar-putar tanpa ada progresi dari lini tengah ke depan. Lini tengah tampak sangat bingung untuk membangun kreasi serangan. Pierre Emerick Aubameyang, striker utama tampak tak tahu apa yang harus dilakukan ketika tidak mendapatkan bola. Ujung-ujungnya hanya umpan crossing yang tidak menghasilkan peluang berbahaya.

Jelas ini adalah sebuah masalah dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Masalah ini harus segera diselesaikan. Mari kita kupas masalah ini yang menyebabkan Arsenal kalah dalam empat laga kandang berturut-turut, setidaknya menurut hemat saya sebagai penggemar.

Mikel Arteta datang ke Arsenal dengan ide-ide brilian sepulang dari Manchester City arahan Pep Guardiola. Usut punya usut, sebelum menjadi asisten Pep, Arteta sudah belajar ilmu kepelatihan menjelang pensiun. Kabarnya juga Arteta mengidolakan sistem permainan Juego de Posicion atau Positional Play ala Marcelo Bielsa yang juga menjadi pedoman kepelatihan Pep Guardiola dan Mauricio Pochetino.

Di musim kedua era Unai Emery, Arsenal kerap kesulitan ketika menghadapi pressing tinggi dari lawan. Nah, sistem permainan Arteta berhasil mengeliminasi pressing tersebut. Sebenarnya yang diterapkan Arteta merupakan prinsip dasar dari Juego de Posicion, yaitu pemain yang memegang bola maupun tidak memegang bola bergerak mencari ruang kosong di antara pemain-pemain lawan dalam waktu yang bersamaan. Namun para pemain mampu mengimplementasikan ide dasar ini dengan baik. Pelan tapi pasti, eliminasi pressing ini kemudian diubah menjadi peluang berbahaya dalam sekejap karena ruang-ruang yang ditinggalkan saat melakukan pressing tinggi sangat lebar di belakang pertahanan lawan sehingga eksploitasi celah menjadi lebih mudah. Trio Aubameyang-Lacazette-Pepe sangat ahli mengeksploitasi celah-celah lebar tersebut dengan efektif. Eliminasi pressing dan produksi peluang berbahaya dikemas dalam satu paket sistem permainan Mikel Arteta. Inilah yang membuat sistem permainan Arteta istimewa. Trofi Piala FA dan Community Shield adalah bukti nyata kecanggihan sistem permainan Arteta.

Masalah mulai muncul di menjelang akhir musim 2019-2020 lalu. Terdapat satu pertandingan yang luput dari perhatian banyak orang, namun menjadi pangkal masalah musim ini, yaitu saat Arsenal melawat ke Villa Park Stadium bersua Aston Villa. Setelah Aston Villa mencetak gol melalui sepakan Trezeguet memanfaatkan kemelut sepak pojok, the Villains bertahan total. the Gunners kesulitan membongkar pertahanan rapat Aston Villa yang terlihat seperti dua benteng berlapis. Hanya satu peluang yang diproduksi Arsenal melalui sundulan Eddie Nketiah yang membentur mistar gawang. Skor 1-0 untuk Aston Villa bertahan hingga usai.


Lawan-lawan mulai jeli dan memanfaatkan kelengahan Arsenal ini. Masalah tersebut berlanjut ke musim ini. Dari 7 kekalahan pertama, 4 kekalahan terakhir disebabkan oleh kesulitan melawan tim-tim yang bertahan dengan sistem blok rendah atau dua benteng berlapis tadi. Leicester City, Aston Villa (lagi), Wolverhampton Wanderers, dan Burnley adalah tim-tim yang dimaksud. Situasi pertandingan selalu sama, layaknya deskripsi pertandingan melawan Burnley. Bahkan Leicester dan Wolverhampton berani sesekali melakukan pressing ketika lini tengah Arsenal kebingungan mencari opsi umpan untuk progresi. Jarak antar pemain cukup jauh dan pergerakan pemain sangat kaku sehingga sulit mencari opsi umpan. Seharusnya poin maksimal bisa diraih melawan tim-tim seperti ini. Sisanya melawan Liverpool, Manchester City, dan Tottenham Hotspur yang masih bisa dimaklumi suporter karena kualitas lawan memang lebih unggul.

Menurut Justinus Lhaksana, ada tiga cara membongkar pertahanan rapat seperti ini, yaitu:

1Wall pass dari sisi sayap. Yang dimaksud di sini adalah melakukan umpan satu-dua di sisi sayap. Ini terjadi jika bola dipegang oleh fullback/wingback. Salah satu penyerang turun mendekati pemegang bola tersebut, kemudian melakukan umpan satu-dua untuk membuka celah di belakang pertahanan lawan supaya fullback/wingback yang awalnya memegang bola bisa melakukan penetrasi lalu melepaskan umpan tarik atau umpan silang langsung dari sisi lapangan.

2Umpan silang dari tengah. Maksudnya adalah umpan silang dari area center, paling pinggir dari area halfspace. Umpan silang atau crossing dari tengah dilakukan karena umpan dari tengah membuat ruang antar lini lebih mudah diakses dibandingkan dari flank (sayap). Kelebihan opsi ini adalah ruang antar lini yang rapat lebih mudah untuk dibuka atau diperlebar dan dapat lebih bebas menentukan arah serangan, bisa ke kanan, kiri, atau tengah langsung. Di kotak penalti harus tersedia lebih dari satu orang kawan untuk membingungkan bek lawan yang ingin mengkawal penyerang. Bisa menambahkan satu penyerang lagi atau bek tengah. Tentu saja opsi ini memerlukan gelandang dengan akurasi umpan yang tinggi.

5 ruang horizontal area lapangan (sumber: fandom.id)

3. Kombinasi antar pemain. Kombinasi adalah umpan pendek dan cepat antar pemain untuk merusak kompaksi pertahanan lawan. Umpan satu-dua adalah contoh paling sederhana dari kombinasi. Namun jika chemistry antar pemain sudah terkoneksi dengan baik, kombinasi bisa dilakukan oleh empat hingga lima pemain. Lawan akan bingung dalam bertahan karena bola bergulir sangat cepat.

Opsi pertama biasanya dilakukan oleh Liverpool. The Reds mempunyai beberapa skema serangan dari umpan silang, misalnya Andrew Robertson menerima umpan lambung dari Trent Alexander-Arnold di tiang jauh lalu mengirim bola ke muka gawang yang sudah siap disambar Sadio Mane, Roberto Firminho, atau Mohammed Salah. Permainan umpan panjang secara diagonal, horizontal, maupun vertikal memang menjadi ciri khas permainan Liverpool di bawah Juergen Klopp, sehingga mereka tidak kesulitan melakukan berbagai variasi serangan melalui umpan silang.

Opsi kedua biasa digunakan oleh Bayern Munich. Aktor penting Die Rotten dalam menjalankan opsi ini adalah Joshua Kimmich yang mempunyai keahlian mengirim umpan lambung akurat dari tengah lapangan. Contoh terbaru adalah gol semata wayang Bayern ke gawang Paris Saint Germain di final Liga Champions musim lalu. ketika Kimmich mengirim umpan lambung ke kotak penalti, bek-bek Le Parisiens mengira bola akan dikirim ke Lewandowski. Tiba-tiba Kingsley Coman menyelinap di antara kerumunan untuk menyambut umpan Kimmich. Sundulan Coman mampu mengecoh Keylor Navas dan bola bersarang di sudut kiri gawang Paris.

Lalu bagaimana dengan Arsenal? Arsenal bisa menggunakan opsi ketiga. Arsenal di era Arsene Wenger terkenal dengan kombinasi antar banyak pemain yang sering disebut Wengerball. Wengerball kerap melibatkan lima bahkan enam pemain di final third pertahanan lawan. Andai Aubameyang atau Lacazette sudah datang, mungkin Arsenal sudah berbuka puasa gelar Liga Primer Inggris saat itu, karena kombinasi ini mampu membongkar pertahanan lawan berkali-kali. Masalah saat itu tinggal penyelesaian akhir yang kurang efektif. Arteta yang semasa aktif bermain pernah diasuh The Professor tentu paham kombinasi ini. Arteta sering menjadi bagian kombinasi Wengerball saat itu, setidaknya hingga musim 2013/2014. Wengerball atau setidaknya kombinasi umpan antar pemain adalah jawaban dari masalah Arsenal saat ini: kesulitan mencetak gol bahkan memproduksi peluang. 

Siapa yang bisa mengeksekusi kombinasi tersebut musim ini? Jawabannya ada di pemain pelapis yang bermain di fase grup Liga Eropa. Para pemain pelapis bermain dengan kombinasi umpan cepat di sepertiga akhir wilayah lawan, sesuai dengan kapasitas yang dimiliki Arsenal selama ini. Tampak chemistry antar pemain cukup terkoneksi dengan baik. Catatan mereka di fase grup pun tidak main-main: berhasil memenangi seluruh pertandingan, tanpa seri dan kalah sekalipun alias meraup 18 poin. Banyak yang menganggap mereka menang karena lawan-lawan di fase grup tidak sepadan. Namun wakil Inggris lainnya di Liga Eropa sempat mengalami kekalahan. Leicester kalah dari Zorya, Tottenham ditumbangkan Antwerp. Bukankah Zorya dan Antwerp juga lawan “antah berantah”? Itu berarti Arsenal memiliki catatan istimewa dan lawan-lawan di Liga Eropa tidak bisa dianggap remeh. Selama penulis mengikuti Arsenal, ini adalah poin tertinggi yang dicapai the Gunners di fase grup kompetisi Eropa. Jika Arsenal hanya menargetkan lolos dari fase grup, para pemain mungkin menyisakan satu laga imbang atau kalah. Ini adalah kode keras yang dikirimkan para pemain pelapis ke Arteta: mereka minta dimainkan lebih sering di Liga Primer.

Seperti yang kita tahu, pemain-pemain di tim utama banyak yang mengalami penurunan performa. Willian, Pierre-Emerick Aubameyang, Hector Bellerin, Eddie Nketiah, Dani Ceballos, Kieran Tierney, dan Granit Xhaka adalah yang dimaksud. Mereka sebaiknya ditepikan sementara, untuk mendinginkan otot dan menjernihkan pikiran. Theo Walcott, mantan pemain the Gunners merasa ada banyak ketakutan di kubu Meriam London. Ketakutan yang dimaksud adalah ketakutan akan kekalahan sehingga muncul beban yang berat karena tuntutan untuk menang di setiap pertandingan. Terlihat sekali beban itu lewat kaki-kaki mereka yang berat berlari, akibat pundak bagaikan memikul seisi dunia.

Aisley Maitland-Niles, Nicholas Pepe, Mohammed Elneny, Reiss Nelson, Gabriel Martinelli, Cedric Soares, Sead Kolasinac, dan Alexandre Lacazette layak bermain di Liga Primer. Maitland-Niles perlu dimainkan sebagai gelandang tengah, bukan bek sayap. Pemain-pemain pelapis memiliki determinasi yang tinggi dan bermain tanpa rasa takut. Meskipun mereka tampil inkonsisten, setidaknya mereka masih lapar akan kemenangan dan mau mengejar bola dengan konstan. Inilah yang dibutuhkan tim ketika bertanding di kompetisi sesengit Liga Inggris. Menurunkan pemain pelapis yang lebih segar untuk memainkan kombinasi bisa menjadi pilihan jika tidak berhasil mendatangkan gelandang serang di bursa transfer Januari mendatang.

Syekh Abdul Qadir Jaelani pernah menasihati kita, bahwa hendaknya kita menghadapi masalah atau musibah dengan sabar dan tenang. Beliau juga berpesan agar tidak boleh takut terhadap sesama manusia, karena sikap tersebut termasuk ciri orang munafik. Kita sebagai suporter perlu sabar, mengingat Arsenal masih menjalani masa transisi pasca mundurnya Wenger. Arteta perlu menghadapi dengan tenang, supaya pikiran bisa lebih jernih sehingga ide dan solusi bisa muncul untuk menyelesaikan masalah ini. Arteta juga tidak boleh takut untuk mencadangkan pemain-pemain senior yang tidak tampil baik. Ini semua demi kebaikan tim. Saran yang penulis berikan hanya merupakan salah satu opsi, yang mungkin bisa membantu mendongkrak mental dan performa Arsenal saat ini. Intinya Arteta perlu melakukan perubahan, supaya Meriam London bisa mengisi peluru-pelurunya yang tengah kosong, demi meraih rentetan kemenangan kembali.


Ditulis oleh: Tirta Indah Perdana

Rabu, 16 September 2020

Gracias Emi

GRACIAS, EMI!

Mendatangkan pemain dari klub antah-berantah memang sudah jadi kebiasaan Arsene Wenger ketika masih menjabat sebagai manajer Arsenal. Kejadian tersebut terulang secara continue di tiap tahunnya. Pada tahun 2010 misalnya, Arsenal mendatangkan kiper berusia 17 tahun dari, Independiente, klub yang bermarkas di Buenos Aires, Argentina. Kiper itu bernama Emiliano Martinez.

Emi, panggilan akrabnya, harus menjalani karirnya di usia muda untuk membantu perekonomian keluarga. Perjalanan karirnya di Arsenal pun tidak mudah. Butuh dua tahun untuk dia menjalani laga debutnya di skuad utama Arsenal, tepatnya di tahun 2012 melawan Coventry City. Namun, dikarenakan performanya yang kurang memuaskan, ia lebih banyak ‘disekolahkan’ untuk mendapat lebih banyak jam terbang. Mulai dari Oxford United (2012), Sheffield Wednesday (2014), Rotterham (2015), Wolverhampton (2016), Getafe (2018) dan Reading (2019). Pensiunnya Petr Cech di tahun 2019, membuat Emi memilih bertahan dan ingin membuktikan kualitasnya di Arsenal.

Setelah sekian lama dijadikan pilihan kesekian, kesempatan untuk menjadi ajang pembuktian Martinez pun tiba, tepatnya saat Bernd Leno mengalami cedera saat Arsenal berhadapan dengan Brighton di lanjutan laga Premier League pasca restart. Martinez yang turun menggantikan Leno sayanngnya tidak dapat menghidarkan Arsenal dari kekalahan atas Brighton. Namun, di laga-laga selanjutnya, ia membayar kepercayaan Arteta yang diberikan padanya. Berkat performa impresifnya, Martinez pun dipercaya untuk menjadi kiper nomor satu Arsenal sampai berakhirnya musim 2019/2020.


Ya bisa dibilang Martinez menunggu sangat lama untuk kesempatan ini. kurang lebih 10 tahun ia dedikasikan waktunya untuk ‘memantaskan’ diri menjadi kiper skuad utama the Gunners. Di sisa laga musim lalu, ia tampil apik di bawah mistar gawang Arsenal, di ajang FA Cup khususnya. Emi bisa dibilang menjadi faktor kunci kesuksesan the Gunners di ajang tersebut. Pada babak semifinal misalnya, Arsenal harus berhadapan dengan tim superior sekelas Manchester City. Laga alot disajikan di laga tersebut. Bagaimana tidak, Arsenal hanya bisa bermain menunggu di belakang, melihat dominasi penguasaan bola anak asuh Pep Guardiola. Namun, dengan racikan Arteta ditambah koordinasi yang bagus dari Emi Martinez, Arsenal dapat mengalahkan Manchester City dengan catatan cleansheets. Ya bisa dibilang hal tersebut datang berkat kecerdikan Arteta dan dedikasi tinggi seorang Martinez dalam mengawal lini pertahanan Arsenal. Puncaknya adalah di laga final FA Cup. Di laga tersebut Emi kembali dipasang oleh Arteta untuk berada di bawah mistar. Padahal waktu itu Leno sudah sembuh dari cederanya. Hasilnya, Arsenal berhasil meraih trofi FA Cup untuk ke-14 kalinya. Hal ini sekaligus menobatkan Arsenal sebagai ‘raja’ dari FA Cup, mengungguli Manchester United di tempat kedua dengan raihan 13 trofi FA. Tangis haru dari Emi meliputi perayaan kemenangan Arsenal di ajang tertua di dunia itu. Bagaimana tidak, Emi yang menunggu 10 tahun lamanya akhirnya mendapatkan peran besar untuk membawa klub yang dibelanya dari usia 17 tahun itu meraih juara. Ya, memang hari itu sangat spesial untuk Emi, ia pantas mendapatkan sanjungan berkat kesabarannya selama ini.

Performa impresif dari Emi di akhir musim lalu tentu menjadikan semua fans bahagia. Persoalan kiper dengan kualitas yang mumpuni sudah diatasi berkat keberadaan Leno dan Emi. Secara, Emi dan Leno memiliki kualitas yang bisa dibilang tidak berbeda jauh dan dapat diandalkan pada setiap laga yang dijalani Arsenal. Namun, persoalan lain muncul berkat keberadaan dua kiper hebat ini, siapa yang nantinya akan menjadi pilihan pertama di skuat the Gunners?

Bernd Leno dan Emi Martinez bermain sama apiknya pada musim lalu. Sebelum mengalami cedera, Leno selalu membuat penyelamatan penting di saat lini pertahanan Arsenal tidak dapat diandalkan. Selain itu, Martinez pun bermain sama baiknya dengan Leno. Hal ini membuat Arteta dilema dalam memilih siapa yang harus dipilih menjadi kiper utama Arsenal musim ini. Ditambah Emi menuntut untuk dijadikan kiper nomor satu berkat performa impresifnya di sisa laga musim lalu. Bila menilik statistik yang dikutip dari sofascore, di ajang Premier League musim lalu, keduanya memiliki catatan yang berimbang. Dari 30 laga yang dijalankan Leno, ia memiliki catatan (1.3) kebobolan per laga, (3.8) penyelamatan per laga, (7) cleansheets dan (72%) akurasi operan. Sementara Martinez memiliki catatan yang hampir sama dengan Leno. Dari delapan (8) laga yang dijalani, Emi mencatatkan catatan (1.0) kebobolan per laga, (3.8) penyelamatan per laga, (3) cleansheets dan (67%) akurasi operan. Tentunya bila dilihat dari segi goalkeeping, keduanya memiliki catatan yang sama baiknya. Namun, Leno lebih diunggulkan karena memiliki atribut operan yang lebih baik dari Emi. Ya, Arsenal akhir-akhir ini sering menerapkan skema build-up dari lini pertahanan. Dalam skema ini, kiper juga memiliki andil untuk membangun serangan. Tentunya dengan akurasi passing Leno yang lebih baik membuat nya tetap berada pada posisi utama penjaga gawang Arsenal.

Banyak yang menspekulasikan Martinez akan pergi dari Arsenal. Bersamaan dengan pemain lainnya, ia dikabarkan akan pergi kepada klub yang memberikan garansi posisi kiper utama. Namun, semua orang terkejut ketika banyak pemain Arsenal yang dikabarkan akan hengkang, bermain di laga sepenting Community shield melawan Liverpool pada akhir agustus lalu. Bersamaan dengan pemain lainnya, Martinez menunjukan tajinya di laga tersebut. Bahkan ia melakukan dua penyelamatan penting saat menghalau sepakan Sadio Mane dari jarak dekat. Ditambah dengan pertahanan Arsenal yang kolektif saat bertahan, membuat mereka memenangkan Community Shield melawan jawara Premier League untuk yang ke-16 kalinya. Hal ini tentu membuat banyak pemain Arsenal yang akan dispekulasikan akan pergi sepeti Maitland-Niles, Rob Holding, dan Martinez berfikir ulang terkait masa depannya.

Tidak seperti pemain lainnya, tekad Emi untuk pergi dari Arsenal rasanya sudah dipikirkan matang-matang. Menunggu selama 10 tahun sepertinya sudah sangat lama bagi Martinez, sudah saatnya dia ‘naik kelas’. Pilihannya cuma satu, menjadikan Martinez menjadi kiper nomor satu atau tidak sama sekali. Arteta yang tidak bisa menjamin hal tersebut tentunya membuat Martinez mulai mengambil langkah untuk mencari klub yang berminat padanya. Absennya Emi di laga melawan Fulham, Sabtu lalu tentu sudah menjadi pertanda bahwa Emi akan pergi dari Arsenal. Hal ini semakin diperjelas dengan pernyataan jurnalis ternama ‘Fabrizio Romano’ mengabarkan bahwa Emi sudah siap bergabung dengan Aston Villa.

Sebagai fans tentunya kita harus menghargai keputusan dari Martinez. Ya, dia memang sudah seharusnya berada di posisi utama dengan kualitasnya itu. Hal ini tentu sama dengan apa yang terjadi pada Arteta pada saat ia masih berada di Manchester City. Dengan kemampuan dan kapabilitasnya, ia tidak bisa terus menerus berada di bawah naungan Pep Guardiola. Sadar akan hal itu, Arteta dengan sigap menerima tawaran Arsenal dan diberikan posisi utama dalam mengerahkan seluruh kemampuannya dalam meracik taktik untuk publik the Gunners. Kepindahannya pun berbuah manis, bersama Arsenal ia sudah meberikan dua trofi di musim perdananya. Tentu bila kita berkaca dari kisah Arteta, sudah waktunya Martinez untuk naik kelas. Mungkin Emi akan menemukan jalan suksesnya di tempat lain sama halnya seperti apa yang dirasakan Arteta saat ini.

Dengan diresmikannya Emi menjadi pemain Aston Villa, Arsenal kini kehilangan salah satu kiper terbaiknya. Ya, berat memang melihat bagaimana Emi memantaskan diri dan menjadi idola baru publik Emirates, harus pergi di saat semua orang mengelukan namanya. Namun dibalik itu semua, tentunya ini menjadi jalan terbaik untuk kedua pihak. Martinez ingin menjadi nomor satu, Arsenal mencarikan klub yang berminat pada pemain berusia 28 tahun itu. Pada akhirnya, semua akan berakhir dengan baik-baik saja. Tidak intrik, tidak ada drama, ini untuk kebaikan kedua belah pihak.

"Setiap ada pertemuan, pasti ada perpisahan.
Terima Kasih, Emi. Jasa dan dedikasimu akan selalu diingat oleh fans Arsenal".

Ditulis oleh: Robby Arsyadan

Referensi: Sky Sports/Sofascore

Minggu, 13 September 2020

MENEMPA KEMBALI MENTAL JUARA MERIAM LONDON

MENEMPA KEMBALI MENTAL JUARA MERIAM LONDON

Beberapa waktu lalu empat mantan pemain Arsenal sempat curhat ke media mengenai bagaimana pengalamannya semasa berseragam merah London Utara itu. Empat orang itu antara lain Bacary Sagna, Robin van Persie, Cesc Fabregas, dan Ashley Cole. Mari kita simak curhatan mereka:

Bacary Sagna

Suami dari Ludivine Sagna ini pernah mengakui bahwa para pemain Arsenal sudah 'minder' sebelum menghadapi tim-tim rival, terutama rival sekota, Chelsea. Para pemain sudah kalah sebelum masuk lapangan. Memang saat itu secara kualitas pemain-pemain Chelsea lebih baik dari Arsenal, namun menurutnya Arsenal mampu mengalahkan London Biru apabila mereka bersatu.

Robin Van Persie

Pemain ini menghebohkan sepakbola Britania Raya di pertengahan tahun 2012 karena kepindahannya langsung ke rival bebuyutan. Van Persie hijrah ke Manchester United dari Arsenal dengan jumlah transfer 30 juta poundsterling. Sontak Van Persie mendapat hujatan keras dari fans Meriam London. Namun ada satu hal yang tidak diketahui banyak orang, yakni alasan di balik kepindahannya. Rupanya dia tidak disodori kontrak baru oleh manajemen Arsenal, padahal kontraknya setahun lagi berakhir saat itu. Van Persie sendiri ingin sekali bertahan, bahkan menambahkan 1 juta pondsterling miliknya jika dibutuhkan. Tak kunjung mendapat kepastian, Manchester United meminangnya dan Van Persie pun menyetujuinya.

Cesc Fabregas

Fabregas adalah salah satu wonderkid menjanjikan Arsenal pada masanya. Fabregas pindah ke Barcelona pada musim panas tahun 2011 karena ingin mendapat trofi bergengsi yang tidak kunjung ia dapatkan di Meriam London. Ia pernah bercerita, di lapangan hanya dia sendiri yang berjuang, yang berusaha keras, pemain lain seakan tidak bernafsu untuk meraih kemenangan, berlari kesana kesini tanpa tujuan. Bermain setiap pekan hanya menjadi formalitas untuk menggugurkan kewajiban. Tak heran jika ia pindah ke Barcelona, yang tentu lebih serius untuk meraih gelar.

Ashley Cole

Pemain ini juga sempat menggemparkan pecinta Liga Inggris dengan menyeberang ke rival sekota, Chelsea. Cole menjadi bagian dari transfer pertukaran pemain dengan William Gallas pada musim panas tahun 2006. Dia menuturkan alasan kenapa dia pindah ke Chelsea, yaitu dia tidak melihat adanya niat dari manajemen untuk mengganti pemain-pemain bintang yang mulai menua saat itu. Robert Pires hijrah ke Villareal di tahun yang sama, Thierry Henry ke Barcelona setahun kemudian, Jose Antonio Reyes mudik ke Spanyol membela Real Madrid, dan Dennis Bergkamp pensiun. Dengan begitu, dia tidak melihat peluang untuk meraih trofi lagi di Meriam London. Prediksi yang dengan sedihnya menjadi kenyataan.

Dari cerita beberapa pemain di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa penyebab menurunnya performa Arsenal akhir-akhir era Arsene Wenger bukan faktor pelatih saja. Memang harus diakui, strategi dan taktik Wenger sudah termakan zaman, namun manajemen yang seharusnya mendukung kinerja Wenger juga turut andil dalam merosotnya performa the Gunners. Manajemen tidak mampu memagari pemain-pemain bintang yang ingin hengkang. Strategi pelatih yang usang ditambah manajemen yang buruk membuat semangat kompetitif pemain semakin menurun setiap tahunnya. Keadaan ini berimbas kepada runtuhnya aspek paling fundamental, yaitu mental pemain.

Aspek mental inilah yang menjadi masalah utama Arsenal. Di saat-saat krusial, di mana Arsenal seharusnya di atas kertas meraih kemenangan, justru meraih hasil imbang bahkan kalah. Situasi ini selalu terjadi hampir setiap tahun. Hanya satu pertandingan yang benar-benar memuaskan saya saat the Gunners bermarkas di Emirates, yakni saat menumbangkan AC Milan―juara bertahan Liga Champions saat itu―di San Siro 2-0. Tongkat estafet kepelatihan berlanjut ke Unai Emery pun tidak mengubah keadaan. Saat Aubameyang dkk. berpeluang meraih posisi 4, peringkat terakhir untuk lolos ke Liga Champions, justru menyia-nyiakan kesempatan itu. Padahal di saat yang sama, Chelsea, Manchester United dan Tottenham Hotspur juga tidak stabil performanya menjelang akhir musim 2018/2019. Situasi ini membuat fans Arsenal menjadi sufi yang zuhud, berkat kesabaran dan qanaah (menerima apa adanya) yang tinggi dalam mendukung Meriam London.

Kini tongkat estafet dipegang Mikel Arteta, pemain yang pernah membela the Gunners dari 2011-2016. Pengalamannya kala menjadi asisten pelatih Pep Guardiola di Manchester City mulai berbuah manis. Sudah dua trofi yang disumbangkan Arteta, yakni Piala FA dan Community Shield tahun 2020. Berdasarkan informasi yang saya himpun dari berbagai sumber, ada tiga syarat menjadi tim sepak bola yang hebat dan meraih banyak trofi, antara lain pola permainan yang bagus; efektif dalam mengeksekusi peluang; dan mental yang kuat di saat-saat genting. Arteta sudah memenuhi dua syarat pertama. Permainan Arsenal sekarang di bawah Arteta sangat tenang dan rapi. Sirkulasi bola cukup bersih sehingga pemain-pemain mampu menciptakan banyak ruang di pertahanan lawan. Tidak perlu melakukan banyak umpan pendek seperti di Era Wenger. Efektivitas mulai terlihat di Piala FA, saat melipat Manchester City di semifinal dan Chelsea di final. Saat semifinal Arsenal hanya perlu melakukan 4 shots on target untuk menjebol 2 kali gawang the Citizens. Di final, Meriam London cukup melakukan 3 shots on target untuk menggetarkan jala Singa London dengan jumlah yang sama.

Saya mempercayakan sepenuhnya ke Arteta perihal pola permainan, taktik dan strategi. Sanad keilmuan Arteta tersambung ke Johan Cruyff―Bapak Total Football―melalui Pep Guardiola. Prinsip-prinsip permainan yang ditetapkan Johan Cruyff kurang lebih sama dengan Arteta, hanya penerapannya di lapangan saja yang berbeda karena menyesuaikan dengan kemampuan para pemain. Kini tinggal meningkatkan mental pemain ke level yang lebih tinggi. Untuk kompetisi Eropa, Arteta bisa menilik Liverpool saat menjuarai Liga Champions tahun lalu. Mereka mampu melewati hadangan tim-tim elit sekelas Bayern Muenchen dan Barcelona di fase gugur. Di pentas Liga Inggris, Arteta bisa bernostalgia dengan performa Arsenal saat menjuarai Liga tahun 2004 dengan status tanpa terkalahkan. Saat itu Arsenal kerap bangkit dari ketertinggalan dan meraih kemenangan di akhir pertandingan, terutama menjelang musim 2003/2004 berakhir. Liverpool 2019 dan Arsenal 2004 adalah contoh bagus untuk Arteta dalam upaya meningkatkan mental the Gunners saat ini.

Yang lalu biarkan berlalu. Kesalahan di masa lalu patut menjadi pelajaran untuk internal klub. Manajemen dan jajaran kepelatihan harus saling mendukung supaya Arsenal mampu menggapai prestasi lebih baik di masa depan. Jika internal klub sudah kondusif, para pemain bisa fokus memikirkan bagaimana bisa meraih hasil maksimal di dalam lapangan. Dampak selanjutnya adalah pemain-pemain bintang lebih betah dengan visi misi klub yang lebih jelas dan mental pemain bisa meningkat. Bukan tidak mungkin dengan mental yang kuat, Arsenal mampu merengkuh trofi Liga Champions suatu saat nanti, trofi yang diidam-idamkan fans selama ini.

Ditulis oleh: Tirta Indah Perdana

REVIEW: ARSENAL VS FULHAM

REVIEW: ARSENAL VS FULHAM

Arsenal berhasil menang meyakinkan melawan Fulham dengan skor 3-0 pada laga perdana Premier League, Sabtu 12/09/2020 di Craven Cottage. Arsenal membuka keran golnya melalui Alexandre Lacazette pada menit ke delapan. Memanfaatkan kemelut gawang, Lacazette dengan mudah menceploskan bola ke gawang Fulham yang dijaga Marek Rodak. Gol kedua lahir dari bek anyar Arsenal, Gabriel Magalhaes. Sepak pojok yang dikirimkan Willian di sisi kiri gawang Fulham, dapat dituntaskan dengan baik dengan sundulan Magalhaes melewati sela-sela kaki Rodak. The Cottagers makin terpuruk saat Aubameyang berhasil mencetak gol ketiga Arsenal. Gol Aubameyang ini mengingatkan kita dengan laga Community Shield yang dihelat akhir Agustus lalu. Dengan hasil ini, Arsenal sementara memuncaki klasemen Premier League. Sementara Fulham berada diposisi buncit dengan selisih gol minus tiga.

Kemenangan Arsenal bisa dibilang berkat kolektivitas tim ini dalam menyerang maupun bertahan. Tentu hal ini tidak lepas dari formasi 3-4-3 Arteta yang makin padu diterapkan pada Arsenal. Ditambah, kedatangan pemain-pemain baru seperti Willian dan Magalhaes tentu menambah kualitas dari tim ini. Bila dilihat dari statistik pada laga semalam, Arsenal memang sangat dominan saat menyerang. Total Arsenal melancarkan 13 tendangan dengan enam diantaranya tepat sasaran. Berbanding terbalik dengan Fulham yang hanya melancarkan lima tendangan dengan dua diantaranya diselamatan Bernd Leno dan sisanya tidak tepat sasaran.

Tentunya agresivitas Arsenal ini berkat distribusi bola dari lini pertahanan Arsenal. Ya, bisa dibilang lini pertahanan memainkan peran penting dalam distribusi bola pada laga kali ini. Total pemain belakang Arsenal mencatatkan minimal 100 sentuhan, terbanyak dibandingkan pemain Arsenal lainnya. Bek anyar Arsenal, Gabriel Magalhaes, memainkan peran penting pada skema build-up di lini pertahanan Arsenal. Dia mencatatkan akurasi passing mencapai 95%, hanya kalah dari Willian (96%). Selain Gabriel, pemain lainnya seperti Tierney (86%), Holding (90%), Xhaka (93%) dan Elneny (95%) bermain sama baiknya dalam melakukan build-up dari lini pertahanan. Hal ini tentunya memudahkan Auba, Lacazette dan Willian dalam berkreasi di lini depan.

Selain pintar dalam membangun serangan, lini pertahanan Arsenal tampil cukup solid dengan catatan impresif selama laga. Tentunya bukan hanya lini pertahanan, melainkan seluruh skuat secara kolektif membantu pertahanan. Wajar saja, dalam formasi 3-4-3, sisi sayap akan lebih turun sehingga membentuk formasi 5-4-1. Ya, dengan adanya lima bek dan empat gelandang di tengah, sangat sulit untuk pemain lawan menembus barisan pertahanan Arsenal. Dengan pertahanan seperti ini, Arsenal mencatatkan 12 tekel dan 11 clearences. Ditambah dengan adanya penjaga gawang sekelas Bernd Leno, menambah solid nya lini pertahanan Arsenal. Hal ini berbuah Cleansheets perdana Leno di musim 2020/2021.

Ya, walaupun Arsenal bermain dengan solid dan kolektif, tentu terdapat aktor dibalik kemenangan telak Arsenal kontra Fulham, semalam. Jujur saja, penulis sendiri bingung untuk memilih siapa yang menjadi Man of the Match di laga semalam. Terdapat dua pilihan, antara Gabriel Magalhaes dan Willian. Kedua pemain itu tampil sama baiknya di laga perdananya berkostum Arsenal. Untuk Willian sendiri di laga semalam tampil dengan luar biasa, ia menghidupkan lini serang Arsenal dengan umpan-umpan akuratnya. Total di laga semalam ia mencatatkan akurasi passing sebesar 96%, tujuh umpan ke sepertiga lapangan, tiga chance created, dan empat umpan silang yang mana membuahkan dua assist di laga ini. Sementara Magalhaes kokoh dalam menjaga pertahanan Arsenal. dua tekel, tiga sapuan, lima ball recoveries membuahkan cleansheet untuk kubu Arsenal. Mungkin nilai lebih untuk Magalhaes karena selain bertahan, ia ikut ambil andil dalam build-up Arsenal. Jangan lupakan dengan gol perdananya untuk kubu Arsenal, menyamai rekor Vermalen yang menjadi bek debutan Arsenal yang mencetak gol. Mungkin dengan catatan ini gelar Man of the Match patut diberikan untuk Magalhaes.

Kemenangan ini tentunya sangat berharga untuk Arsenal. Kemenangan perdana di laga tandang tentu menjadi suntikan moral yang baik untuk anak asuh Arteta mengawali musim 2020/2021. Namun janganlah kita terlalu cepat jumawa, masih banyak laga penting yang menanti di mingu-minggu berikutnya, Laga selanjutnya Arsenal akan menjamu West Ham di Emirates Stadium. Tentunya kita berharap Arsenal dapat terus melanjutkan tren positif ini di laga selanjutnya.


Ditulis oleh: Robby Arsyadan


Referensi: Whoscored 

Jumat, 11 September 2020

DERBY LONDON DI PEKAN PERTAMA

DERBY LONDON DI PEKAN PERTAMA

Akhir pekan ini Arsenal akan memainkan laga pertamanya di Premier League melawan Fulham di Craven Cottage, Sabtu 12/09/20. Untuk Arsenal sendiri ini kali kedua mereka mengawali liga di kandang lawan, setelah di musim sebelumnya melawat ke St James’ Park, kandang dari Newcastle United.

Lawan Arsenal sendiri adalah Fulham, klub promosi yang lolos berkat kemenangannya di final play off Championship mengalahkan Brentford FC dengan skor tipis 2-1 di babak perpanjangan waktu. Fulham sendiri tidak bisa dianggap remeh, pasalnya hanya berselang satu tahun pasca terdegredasi di musim2018/2019, mereka berhasil kembali lagi ke kasta tertinggi Liga nggris. Bersama Leeds dan West Brom, Fulham siap memberikan kejutan di Premier League musim ini.

Statistik Fulham 2019/2020

Laga yang akan terjadi di Craven Cottage Sabtu ini sepertinya akan berjalan dengan keras. Berdasarkan statistik yang ada pada kejuaraan Championship musim lalu, Fulham menjadi tim yang paling banyak melakukan pelanggaran dengan torehan 93 kartu kuning dan lima kartu merah. Ya, bisa dibilang permainan Fulham arahan Scott Parker banyak melakukan kontak fisik sehingga melahirkan banyak kartu. Tentunya permainan fisik seperti ini harus dihindari Arsenal, mengingat banyak pemainnya yang rentan cedera. Untuk musim ini saja sudah banyak pemain pemain yang absen di pekan pertama akibat cedera.

Berkaca dari musim lalu performa Fulham bisa dibilang lumayan bagus. Dari 46 laga, Fulham meraih 23 kemenangan, 12 hasil imbang, dan 11 kekalahan. Selain itu selama jalanya Championship, Fulham mengemas 64 gol dan hanya kebobolan 48 gol. Angka kebobolannya ini menempati peringkat keempat klub yang kebobolan lebih sedikit dari 23 tim Championship lainnya. Dengan torehan tersebut Fullham menempati peringkat keempat klasemen Championship dengan raihan 81 poin, terpaut 12 poin dari sang juara, Leeds United.

Pemain Kunci Fulham

Bila melihat performa dari Fulham musim ini tentu tidak terlepas dari performa para punggawanya. Salah satu contohnya adalah produktivitas Fulham musim lalu yang dimotori oleh Aleksandar Mitrovic. Tentu Fulham tidak akan sampai pada level yang sekarang bila bukan karena peran Mitrovic. Top skor Chamionship musim lalu itu menorehkan 26 gol dari 64 gol yang dicetak oleh Fulham. Ya walaupun Aubameyang memiliki catatan yang lebih Impresif (27 gol) tentu ancaman Mitrovic ini tidak boleh dianggap remeh. Terlebih Arsenal selalu mengalami masalah di lini belakangnya, ya semoga saja di laga ini performa barisan pertahanan Arsenal dapat meredam keganasan Mitrovic.

Selain Mitrovic, satu nama yang perlu diwaspadai adalah Tom Cairney. Pria Skotlandia berusia 29 tahun itu merupakan penjaga keseimbangan lini tengah Fulham. Dikutip dari Whoscored ia mencatatkan 41 laga dengan torehan delapan gol dan tiga assist. Akurasi passingnya pun mencapai 89,7% lebih baik dari semua pemain Fulham lainnya, Selain itu, catatan (1.9) umpan kunci dan (59.4) operan per laga menjadikan Cairney sebagai jenderal lini tengah dari Fulham. Berkat kematangannya itu tidak heran bila Cairney ditunjuk sebagai kapten dari Fulham. Tentunya ini akan menarik melihat bagaimana duel antara Cairney dan Xhaka dalam mengatur lini tengah pada laga hari ini.

Bergeser ke lini pertahanan, terdapat nama Joe Bryan, pencetak dua gol di final play off Agustus kemarin. Joe Bryan sendiri merupakan left back yang perannya sangan penting untuk Fulham. Hal ini terbukti dari tidak pernah absennya Bryan di tiap laga yang ia jalani musim lalu, total 46 laga ia arungi bersama The Cottagers. Dari penampilannya itu, ia mencatat tiga gol dan tujuh assist. Statistik defensifnya pun cukup impresif, di tiap laganya rata-rata ia mencatatkan (2.6) tekel dan (1.1) intersep. Menandakan betapa hebatnya Joe Bryan saat bertahan. Catatannya bahkan lebih baik dari David Luiz musim lalu (0.8 tekel dan satu intersep perlaga).

Head to Head

Secara head to head Arsenal lebih diunggulkan. Dari lima laga terakhir yang dijalani, Arsenal berhasil menyapu bersih seluruh kemenangan atas Fulham. Pertemuan terakhir mereka ada di tahun 2019, tepatnya saat Arsenal berhasil mengalahkan Fulham 4-1 di Emirates Stadium. Setelahnya Fulham harus rela untuk terdegredasi setelah meraih akhir minor di sisa laga musim 2018-2019.

20 Apr 2013 Fulham 0-1 Arsenal

24 Aug 2013 Fulham 1-3 Arsenal

18 Jan 2014 Arsenal 2-0 Fulham

07 Oct 2018 Fulham 1-5 Arsenal

01 Jan 2019 Arsenal 4-1 Fulham

Ya menarik kita tunggu bagaimana kekuatan dari Fulham era Scott Parker ketika melawan Arsenal. Di atas kertas, Arsenal lebih diunggulkan dalam laga kali ini. Namun, menilik dari kekalahan di laga uji coba melawan Aston Villa tentu membuat Arsenal harus waspada dengan determinasi dari Fulham.


Ditulis oleh: Robby Arsyadan


Referensi: Whoscored

MELIHAT POTENSI LULUSAN HALE END ACADEMY

MELIHAT POTENSI LULUSAN HALE END ACADEMY

Bisa dibilang musim lalu adalah musim yang sangat menyakitkan untuk Arsenal. bagaimana tidak, Arsenal untuk pertama kalinya dalam 25 tahun terakhir keluar dari enam besar Premier League. Namun, dibalik kekacauan yang ada tentu ada hikmah yang dapat kita petik. Ya, musim lalu merupakan musim terbaik untuk para punggawa muda Arsenal. Dibalik inkonsistensinya performa Arsenal, momentum itu dimanfaatkan ‘The Young Guns’ untuk unjuk kebolehan ketika dipilih dalam starting line-up. Ditambah pemadatan jadwal dikarenakan pandemi Corona membuat Arteta harus sering-sering merotasi pemainnya agar tetap bugar. Hal itu membuat para pemain muda Arsenal mendapat jatah bermain minimal 1000 menit di musim lalu. Hal ini juga menandakan bahwa Arteta sudah mulai mempercayai pemain mudanya untuk turun membela tim London Utara, bahkan sebagian pemain sudah dipercaya turun di pertandingan-pertandingan penting.

Kebanyakan pemain ini berasal dari Hale End Academy. Untuk yang belum tahu Hale End Academy adalah akademi Arsenal yang berpusat di London. Bisa dibilang untuk musim lalu merupakan musim terbanyak Arsenal mengorbitkan pemain-pemain mudanya dari Hale End Academy. Nama-nama seperti Nelson, Niles, Willock, Nketiah dan Saka merupakan pemain yang malang melintang berada di skuad utama Arsenal di musim lalu. Sebelumnya sudah banyak pemain jebolan Hale End yang bersinar bersama Arsenal. Tentu banyak yang memberikan ekspetasi lebih untuk para pemain muda ini.

Alih-alih mendapat banyak dukungan tidak sedikit para penggemar Arsenal yang kurang percaya dengan pemain muda lulusan Hale End Academy. Mereka beranggapan pemain-pemain ini tidak dapat membawa Arsenal untuk bersaing di jalur juara. Bahkan kebanyakan dari mereka mencaci maki tanpa pandang bulu saat pemain muda ini melakukan kesalahan, terlebih dijadikan kambing hitam saat Arsenal meraih hasil negatif. Memangnya seburuk itukah pemain-pemain lulusan Hale End tahun lalu?

Reiss Nelson

Banyak fans yang memberikan ekspetasi lebih untuk diri Reiss Nelson. Setelah menjalani masa peminjaman yang cukup impresif bersama Hoffenhiem, banyak kalangan yang menilai bahwa ia siap untuk mengisi pos utama di skuad Arsenal. Bagaimana tidak, dalam masa peminjamannya, ia dapat mencetak tujuh gol dari 23 laga yang dijalaninya. Terlebih kala itu ia masih berusia 19 tahun, angka yang cukup impresif untuk anak seusianya.

Kembalinya Nelson ke Arsenal pun digadang-gadang memberi angin segar pada sisi sayap the Gunners. Sisi sayap Arsenal memang bisa dibilang kurang memberikan ancaman berarti di beberapa musim sebelumnya. Diperlukan pemain yang memiliki dua dimensi dalam penyerangannya. Tidak sekedar memberikan umpan-umpan diagonal saja, melainkan pemain yang dapat mengancam lini pertahanan lawan.

Melihat potensi dari Nelson dan kebutuhan tim yang membutuhkan penyerang dua dimensi, ia langsung diberikan kesempatan pada laga pembukaan musim 2019/2020 kontra Newcastle sejak menit pertama. Hal ini menunjukan pelatih kepala kala itu, Unai Emery, mulai percaya dengan kualitas Nelson. Namun, pada laga itu ia tidak bisa menonjolkan seluruh kemampuannya sehingga digantikan oleh Nicolas Pepe. Pada laga-laga selanjutnya pun Nelson tidak dapat memenuhi ekspetasi sebagai pemain sayap yang dapat mengancam gawang lawan. Hal tersebut memaksa Aubameyang ditempatkan pada sayap kiri lini penyerangan Arsenal. Hal ini dikarenakan tidak ada pemain sayap yang menjalankan tugas sebaik Aubameyang.

Untuk Nelson sendiri, ia lebih banyak memainkan laga dari bangku cadangan sepanjang musim 2019/2020. Dari 23 laga yang dijalaninya, ia memulai permainan dari bangku cadangan sebanyak 10 kali dengan torehan tiga gol dan tiga assist. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan performa impresif Aubameyang yang menorehkan 29 gol yang mana menempati posisi Nelson sebelumnya.

Ya tentunya tidak apple to apple membandingkan kedua pemain ini. Perbedaan jam terbang jadi faktor kunci dari perbandingan kualitas mereka. Namun satu yang perlu diingat, kepercayaan diri dari Nelson sangatlah luar bisa. Laga Comunity Shield kemarin misalnya. Di saat Arteta menanyakan siapa yang akan menendang penalti pertama kali, Nelson dengan sigap menawarkan dirinya. Ya, rasa percaya diri Nelson sangatlah tinggi, sebelum menendang pun ia menyempatkan untuk menjugling bola, menandakan tidak adanya tekanan pada dirinya. Untungnya tendangan pemuda London itu berhasil bersarang di gawang Alisson. Ya walaupun banyak yang meragukannya, tapi melihat kepercayaan dirinya yang tinggi tentunya menjadi modal bagus untuk laga kedepannya.

Ainsley Matlaind-Niles

Diisukan hengkang ke Wolverhampton pada bursa transfer musim panas ini, Maitland-Niles menyuguhkan performa impresif saat laga Comunity Shield Agustus lalu. Ya, ia dijadikan Wing Back kiri oleh Mikel Arteta di laga itu. Kepercayaan yang diberikan Arteta di bayar tuntas dengan gelar Community Shield dan Man of the Match, menandakan dirinya sudah siap menjadi bagian penting Arsenal di musim depan. Gelar Man of The Match sendiri didapatnya karena performa apik yang ia torehkan di laga itu. Dikutip Whoscored, Niles mendapat nilai 7,1 atas kontribusinya meredam sekaligus membongkar sisi kanan pertahanan Liverpool.

Sejak memulai debutnya di tahun 2014, bakat Maitland-Niles sudah terlihat. Ya, dia adalah pemain serba bisa atau disebut juga Vertisale. Layaknya Philipp Lahm dan Joshua Kimmich, Niles dapat diposisikan sesuai dengan kebutuhan klub. Bek kanan, gelandang bertahan, sayap kanan dan sayap kiri, semua bisa dilakukan dengan cukup baik oleh Matlaind-Niles.

Di musim lalu sendiri, ia kerap kali dijadikan pilihan utama di starting line up. Dari 33 laga yang ia jalani, 24 diantaranya dimulai dari awal laga. Penampilannya itu dibayar dengan torehan satu gol dan dua assist.

Walaupun memiliki potensi yang sangat menjanjikan, performa dari Niles sendiri masih angin-anginan. Hal itu membuat Arsenal mendatangkan Cedric Soares dari Southampton. Banyak yang berfikir karir Niles sudah usai di Arsenal. Kritik pun kerap ia dapatkan, bahkan dari legenda Arsenal sekalipun sepeti Martin Keown. Tidak kuat mendapatkan kritikan, Niles akhirnya buka suara tentang performanya yang inkonsisten. dikutip dari Sky Sports, ia beralasan performa buruknya dikarenakan tidak ditempatkan sebagaimana posisi aslinya, gelandang atau sayap. Namun dikarenakan dia seorang profesional tentu sudah sewajarnya ia memberikan apa yang ia bisa lakukan sesuai dengan kebutuhan timnya kala itu.

Kritik yang diberikan terhadap Niles nampaknya menjadi 'bahan bakar' untuk dirinya tetap maju. Performa apiknya saat melawan Liverpool adalah bukti dari kehebatan seorang Niles. Arteta pun nampaknya sudah menemukan posisi yang tepat untuk Niles di Arsenal, sebagai gelandang. Ini bagaikan berkah untuk Arsenal, mempunyai pemain serba bisa seperti Niles. Rasanya dengan bertahannya Niles di Arsenal, realisasi transfer Thomas Partey tidak akan berjalan dengan lancar. Secara, Niles memiliki atribut yang hampir sama dengan Partey. Dikutip Whoscored, Niles memiliki rata-rata tekel (2.1) per game yang sama baiknya dengan Partey (2). Dalam tolak ukur umpan ke daerah lawan pun Niles sedikit lebih baik (0.6) dibanding Partey (0.5). Yang membedakan hanya ada pada akurasi operan Partey yang lebih baik dibanding Niles. Tentu bila dilihat lebih jauh lagi, Niles masih bisa berkembang mengingat dirinya baru berusia 23 tahun.

Joe Willock

Banyak yang membanding-bandingkan kualitas Joe Willock dengan Mesut Oezil. Bagaimana tidak, saat Oezil ditepikan, Willock banyak mengambil peranan sebagai gelandang serang menggantikan Oezil. Namun seiring berjalannya waktu Willock mulai terpinggirkan oleh Unai Emery dan Ljungberg dikarenakan performanya yang naik turun. Namun di era Arteta ia banyak mendapat kesempatan walaupun sering memulai dari bangku cadangan.

Sebenarnya statistik dari Willock tidak buruk-buruk amat. Dari 44 laga yang dijalani, ia membukukan lima gol dan satu assist. Angka yang cukup menarik mengingat posisinya hanyalah sebagai gelandang. Ya tentu ihal itu masih jauh dari ekspetasi untuk menggeser posisi Oezil. Di liga sendiri statistik Willock kalah dari Oezil yang bahkan bermain lebih sedikit darinya. Dikutip dari one versus one, Oezil menciptakan dua (2) assist, sembilan (9) umpan kunci, dan 11 chance creation statistik yang lebih baik dibandingkan Willock (1 assist, 2 umpan kunci, 3 chance create).

Tentu menggeser Oezil diposisi gelandang serang masih jauh dari kata cukup, bahkan bukan tugasnya untuk melapisi keberadan Oezil. Ya dia adalah tipikal gelandang box to box bukan gelandang serang layaknya Oezil. Nilai lebih mungkin ada pada kemampuan bertahannya. Willock mencatat empat (4) blok, 45 tekel, delapan (8) duel udara, dan 31 intersep. Mungkin hal inilah nilai lebih dari Willock, dapat menyerang dan bertahan sama baiknya. Tidak seperti Oezil yang kurang memberikan kontribusi saat bertahan. Dalam sepakbola modern saat ini, seluruh pemain dituntut untuk melakukan segalanya secara bersama-sama. Tentunya Willock sangat tepat berada pada skema ini.

Eddie Nketiah

Nketiah sebenarnya baru bergabung dengan skuad utama di pertengahan musim lalu. Melihat krisis penyerang yang ada di Arsenal membuat Arteta memaksa Nketiah pulang dari masa peminjamanya di Leeds United.

Berkah bagi Nketiah, Lacazette yang sedang dalam performa kurang baik membuatnya menjadi langganan starting line-up selepas kembalinya ke Emirates Stadium. Di musim lalu, Nketiah bermain sebanyak 17 laga dengan torehan enam gol. Performanya ini terbilang menjanjikan mengingat ia baru masuk ke dalam skuad di pertengahan musim. Arteta pun tidak sungkan untuk memuji performa Nketiah. Dikutip dari Goal, ia berpendapat bahwa Nketiah merupakan pemain yang berkontribusi besar dalam cara bermain Arsenal.

Belum lama ini pun ia baru saja mencatatkan Hat-trick bersama timnas muda Inggris saat berlaga melawan Kosovo, Jum’at lalu. Untuk dirinya, ini merupakan kali kedua ia mencatatkan Hat-trick di ajang international usia muda. Sebelumnya ia mencatkan hal yang sama di laga kualifikasi Euro saat berhadapan dengan Austria pada Oktober tahun lalu.

Ya walaupun torehannya masih jauh dengan apa yang diberikan Lacazette, tentu hal ini merupakan tanda bahwa Nketiah merupakan pemain yang akan bersinar di masa mendatang.

Bukayo Saka

Dari semua pemain lulusan Hale End musim lalu, hanya Bukayo Saka yang tampil impresif di semua laga. Bersama Arsenal, ia mencatatkan empat gol dan 11 assist di sepanjang musim kemarin. Saka sendiri berposisi di posisi kiri permainan Arsenal. Bahkan sesekali ia ditempatkan di posisi penyerang kanan.

Rasanya tidak perlu dijelaskan secara gamblang performa Saka musim lalu. Dinobatkannya ia sebagai pemain muda terbaik Arsenal musim lalu tentu sudah menjadi pembuktian dari bagaimana kehebatan Bukayo Saka.

Hale End akademi tidak henti-hentinya menciptakan pemain berkualitas untuk Arsenal. Namun kebanyakan dari pemain muda ini banyak yang belum bisa menampilkan potensi terbaiknya. Optimisme harus ditanamkan bila kita lihat catatan-catatan dari performa pemain di atas. Kita tahu bagaimana tiap-tiap pemain ini memiliki kualitas untuk dapat membuat Arsenal berbicara lebih banyak di jalur juara. Ditambah dengan sentuhan Arteta, kita lihat saja bagaimana masa depan dari pemain muda di Arsenal.


Ditulis oleh: Robby Arsyadan

Selasa, 08 September 2020

RULES LIGA FPL GRI_LEAGUE_ 20/21

RULES LIGA FPL GRI_LEAGUE_ 20/21.

1. Follow media sosial kami (TWITTER, LINE, ATAU IG - salah satunya aja), @FPL_GRI (bagi yang punya twitter), WAJIB follow sponsor utama GRI_LEAGUE_ @thapsneakers (https://instagram.com/thapsneakers?igshid=x6i6sq31wjny) dan sponsor lainnya @Interlude_dani (bagi yang punya twitter saja).

Bagi yang tidak punya twitter wajib follow sosmed GRI lainnya:

> Line https://t.co/tU3952OA0l

> IG https://instagram.com/gooners_report?igshid=k76g7vpiumf9).

2. Wajib memainkan pemain Arsenal selama satu musim penuh disetiap GAMEWEEK (minimal 1 pemain Arsenal).

3. Tidak ada larangan memasukan pemain dari tim manapun.

4. 1 orang hanya boleh menggunakan 1 akun saja (1 tim).

5. Untuk sementara hadiah hanya berlaku untuk 1 pemenang untuk yang berhasil menjuarai GRI_LEAGUE. (JIKA ADA HADIAH LAIN, AKAN KAMI INFOKAN KEMBALI).

6. LIGA FPL GRI_LEAGUE_ GRATIS dan tidak dipungut biaya, kami tidak bertanggung jawab jika ada oknum-oknum yang meminta biaya untuk LIGA GRI_LEAGUE_

Senin, 07 September 2020

MELIHAT KINERJA ARTETA SELAMA DELAPAN BULAN

MELIHAT KINERJA ARTETA SELAMA DELAPAN BULAN

Paruh pertama musim 2019/2020 tentunya merupakan musim terburuk yang pernah dialami Arsenal. Tujuh pertandingan tanpa kemenangan membuat Arsenal harus mendepak pelatih utamanya kala itu Unai Emery akibat performa buruk yang dialami anak asuhnya kala itu. Ljungberg yang menjadi caretaker kala itu pun tidak dapat mengangkat performa Arsenal lebih jauh lagi. Dari empat pertandingan yang dilakoninya, Ia hanya dapat meraih satu kemenangan. Wajar saja, Ljungberg memang tidak diberikan ekspetasi yang berlebih mengingat tugasnya hanya mengembalikan mental Arsenal yang sedang terpuruk. Barulah pada tanggal 20 Desember 2019, Arsenal resmi menunjuk Mikel Arteta selaku pelatih utama the Gunners.

Untuk publik Arsenal sendiri, tentu mereka sudah akrab dengan pria kelahiran Spanyol berusia 38 tahun itu. Ya, Mikel Arteta adalah mantan pemain Arsenal yang mengabdi selama lima tahun di klub London Utara itu. Dalam rentang waktu 2011-2016, Ia mencatatkan 149 penampilan dengan torehan 16 gol dan 8 assist. Tidak lupa dengan raihan dua trofi FA Cup dan dua trofi Community Shield yang ia sumbangkan ke pada the Gunners. Ia akhirnya pensiun di Arsenal pada tahun 2016 di usianya yang menginjak 35 tahun.

Setelah gantung sepatu, Arteta langsung diberi kepercayaan untuk menjadi assisten pelatih Manchester City, Pep Guardiola. Dipilihnya Arteta sebagai asisten Pep tentu tidak lepas dari kenyangnya pengalaman Arteta akan sepakbola Inggris. Bila dihitung-hitung Arteta sendiri sudah bermain di Liga Inggris selama 12 tahun, memulai debutnya di Everton tahun 2004 dan berakhir di Arsenal pada tahun 2016. Ditambah, Arteta yang berkebangsaan Spanyol, tentunya membuat dirinya lebih mudah dalam membantu tugas Pep Guardiola mengingat mengingat mereka memiliki kewarganegaraan yang sama. Tentu hal ini membuat Arteta tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan sistem Pep Guardiola.

Setelah berguru dengan Pep Guardiola di Manchester City selama tiga tahun, akhirnya ia kembali ke Arsenal selaku pelatih utama. Pep Guardiola sendiri nyatanya tidak terima dengan pendekatan Arsenal dalam mendapatkan Arteta dari Manchester City yang kurang menyenangkan. Namun pada akhirnya, Pep merelakan Arteta bersama the Gunners. Ia menambahkan memang sudah waktunya untuk Arteta ‘naik kelas’ melihat kontribusnya yang luar biasa di Manchester City. Bersama Manchester City, Arteta membantu City memenangkan dua gelar Liga Inggris, dua gelar Piala Liga Inggris, dan satu gelar Community Shield.

Setelah Arteta ditunjuk sebagai pelatih utama, lantas hal apa saja yang sudah dilakukannya selama delapan bulan terakhir di Arsenal?

Salah satu peran Arteta dalam pekerjaannya memperbaiki Arsenal adalah dengan meningkatkan moral para pemainnya. Seperti kita ketahui, Arteta dihadapkan pada skuad dengan tingkat kepercayaan diri yang sedang terpuruk. Kekalahan demi kekalahan yang didapat berdampak langsung pada psikis dari pemain-pemainnya. Namun, sejak kedatangan Arteta ke publik Emirates, lambat laun tingkat kepercayaan diri dari skuad the Gunners mulai naik. Dengan beberapa filosofi yang ia ciptakan di klub tentunya membuat pemain-pemain yang sedang terpuruk mendapat kesempatan kedua. “tidak peduli dengan apa yang anda lakukan di masa lalu, tiap harinya tim ini akan dimulai pada titik nol”. Ya, Arteta mempercayai bahwa setiap pemain memiliki kesempatan yang sama untuk berada pada tempat utamanya. Tinggal bagaimana mereka menunjukan kualitasnya pada tiap pertandingan. Efek dari pemikiran ini tentunya berdampak pada pemain-pemain yang benar ingin memberikan seluruh kemampuannya untuk tim. Pemain-pemain seperti Emi Martinez, Maitland-Niles, dan Elneny menjadi pemain yang paling diuntungkan pada sistem ini. Jangan lupakan Granit Xhaka yang hampir hengkang pada Januari lalu bila tidak diberi kesempatan kedua setelah insiden yang dilakukannya di masa lalu. Ia membayar kepercayaan Arteta dengan tampil impresif di tiap laganya. Kali ini, tidak akan ada anak emas layaknya Guendouzi di musim sebelumnya. Bila ingin menjadi pilihan utama, pemain tersebut harus menunjukan segenap kemampuannya.

Pemikiran Arteta yang menghargai akan adanya kerja keras berbuah manis untuk Arsenal. kemenangan demi kemenangan mulai didapat skuad asuhan Arteta ini. Bahkan, tim ini mulai terbiasa untuk bersaing dengan klub Big Six. Tentunya ini tidak terlepas dari tangan dingin Mikel Arteta dalam meracik taktik dan memaksimalkan potensi setiap pemain Arsenal. Sejak kedatangannya di Arsenal, ia dapat mengalahkan Manchester United, Chelsea, Manchester City, Liverpool dan virus corona yang menjangkit dirinya di awal Maret lalu. Total ia sudah memenangkan 16 laga dari 29 pertandingan yang ia jalankan bersama Arsenal. Belum lagi dengan torehan Piala FA dan Community Shield di musim perdananya menunjukan kualitas dari mantan kapten Arsenal di masa lalu.

Berkat kharisma yang Arteta bangun selama delapan bulan ini, dapat dikatakan dirinya menjadi magnet untuk pemain-pemain yang ingin bergabung dengan Arsenal. Willian misalnya, melihat timnya Chelsea dikalahkan di Final FA membuka matanya bahwa tim ini (Arsenal) memiliki kualitas. Tentu hal itu berkat kepiawan Arteta yang lebih mengedepankan kolektivitas untuk meningkatkan kualitas tim. Selain itu, setelah Willian berbincang dengan Arteta, ia percaya dengan nilai-nilai yang ingin dibangun oleh manager 38 tahun itu di Arsenal. Ditambah dengan role besar yang diberikan untuk Willian, tentu membuat pemain berpaspor Brazil itu merasa dihargai. Selain Willian, Magalhaes dan Ceballos-pun dikabarkan menolak beberapa tim besar dan hanya ingin menerima Arsenal. Ditambah keputusan perpanjangan kontrak Aubameyang yang tinggal menunggu hari, tentu berkat pengaruh Arteta yang membangun tim ini ketingkatan yang lebih kuat lagi.

Sekarang Arteta sudah membuktikan kualitasnya, tinggal bagaimana ia menunjukan konsistensinya di musim-musim kedepannya.

Ditulis oleh: Robby Arsyadan


Referensi :

https://sport.detik.com/sepakbola/liga-inggris/d-5134139/karena-willian-percaya-ide-ide-arteta

Rabu, 02 September 2020

MELIHAT POTENSI GABRIEL

MELIHAT POTENSI GABRIEL

Arsenal semakin dekat untuk mendatangkan Gabriel Magalhaes di bursa transfer musim panas ini. Bersaing dengan Napoli dan Manchester United, Arsenal berhasil meyakinkan centre back 22 tahun itu untuk berlabuh ke Emirates Stadium. Dikabarkan jurnalis terkenal Fabrizio Romano, Magalhaes didatangkan dengan nominal 27 juta pounds dengan kontrak selama lima tahun. Hal ini menambah jajaran pemain samba yang memperkuat tim Arsenal. Sebelumnya Arsenal sudah mendatangkan David Luiz, Martinelli, dan Willian.

Gabriel Magalhaes memulai karirnya dari klub divisi kedua Brazil, Avair. Bermain apik di Avair, membuat manajemen Lille mengontrak pemain berpostur 190 cm itu di tahun 2017. Awal kedatangannya di Lille pun tidak mudah, ia harus dipinjamkan ke beberapa klub sebelum bermain di tim utama. Sampai akhirnya, bersama Jose Fonte, ia mulai penunjukan potensinya untuk menjadi pilihan utama di skuad Lille. Ia bahkan mengantarkan Lille kembali mentas di Champions League setelah absen lebih dari tujuh tahun lamanya. Bahkan di musim ini, ia mengantarkan Lille finish di posisi ke empat klasemen dengan raihan 49 poin.

Tentunya merekrut Magalhaes menjadi pertanyaan untuk banyak fans Arsenal. “untuk apa Arsenal mendatangkan centre back sementara tim ini sudah memiliki banyak centre back di skuadnya?”.

Inkonsistennya Lini Pertahanan Arsenal

Ya, lini pertahanan Arsenal memang menjadi titik lemah dari tim ini dalam beberapa musim terakhir. Terhitung dalam empat musim terakhir, Arsenal selalu kebobolan lebih dari 40 gol di Premier League. Hal ini tentunya merupakan catatan yang buruk mengingat tim ‘Big Six’ lainnya memiliki catatan kebobolan lebih baik dari Arsenal. Bahkan di musim ini saja Arsenal kebobolan 48 gol di liga, terburuk kedua dibandingkan dengan tim ‘Big Six’ lainnya. Mirisnya 46% jumlah kebobolan Arsenal musim ini tercipta dari skema bola mati. Menandakan lemahnya lini pertahanan Arsenal saat menghadapi skema ini.

Untuk mengatasi skema ini pun Arsenal sudah sering menggonta-ganti pilihan di lini belakangnya. Namun, hasilnya belum terlalu memuaskan. Terkadang lini pertahanan Arsenal tampil dengan solid, namun di beberapa match lainnya lini pertahanan Arsenal sering membuat kesalahan yang mana berujung gol.

Untuk itulah Arsenal mendatangkan Magalhaes untuk mengatasi kelemahan Arsenal dalam skema bola mati. Magalhaes sendiri memiliki kemampuan yang bagus dalam hal aerial duels. Buktinya, Magalhaes sendiri mencatat 83 kemenangan dalam duel udara, menempati peringkat 16 dari semua pemain yang ada di Ligue 1 musim lalu. Selain itu, Magalhaes sendiri merupakan inti dari permainan Lille musim lalu dengan mencatat 38 pertandingan dari semua kompetisi.

Arsenal terlebih pada kelemahannya menghadapi skema bola mati. Namun, mengingat usianya yang masih muda, ia masih harus diberikan kesempatan untuk beradaptasi. Jangan memberikan ekspetasi yang besar terhadap pemuda ini, ia masih harus belajar dengan pemain senior lainnya yang lebih berpengalaman. Sekarang tinggal bagaimana Arteta dapat memaksimalkan Magalhaes dalam skema bermainnya. Ya, kita lihat saja performanya di musim depan.

Ditulis oleh: Robby Arsyadan



Minggu, 30 Agustus 2020

Arsenal: Solid Bertahan, Efektif Menyerang.

Arsenal: Solid Bertahan, Efektif Menyerang.

Arsenal berhasil mengalahkan Liverpool pada partai Community Shield yang dihelat di Wembley Sabtu, 29 Agustus 2020. Arsenal mencetak gol lebih dahulu melalui skema serangan balik yang diselesaikan dengan tendangan ciamik dari kapten Arsenal, Aubameyang. Di babak kedua Liverpool membalasnya dengan gol debut pemain asal Jepang, Takumi Minamino. Lewat kerja sama apiknya dengan Mohamed Salah, ia menciptakan kemelut di depan gawang Arsenal dan mengonversikannya menjadi gol. Skor sama kuat bertahan sampai waktu normal berakhir dan dilanjutkan pada adu penalti. Sial untuk Liverpool, pemain mudanya, Brewster, menjadi satu-satunya pemain yang gagal melesakan bolanya dari titik 12 pas. Sementara semua pemain Arsenal berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Dengan kemenangan ini Arsenal meraih trofi Community Shield-nya untuk yang ke-16 kali. Sementara untuk Liverpool sendiri ini menjadi kekalahan beruntun tim tersebut di ajang Commuinty Shield.

Tentunya kemenangan ini tidak terlepas dari bagaimana pemain-pemain Arsenal meredam agresifitas penyerangan Liverpool. Lini pertahanan yang lebih solid dan terorganisir menjadi kunci dari bagaimana Arsenal dapat menahan Liverpool di awal babak pertama. Rob Holding dan David Luiz memiliki peranan vital dalam pertahanan Arsenal pada laga ini. Rob Holding bagaikan tembok lini pertahanan yang siap mengawal lini pertahanan Arsenal. Sedangkan David Luiz sendiri menjadi otak dari skema build-up Arsenal di lini pertahanannya. Dengan pemain lainnya, dia dengan tenang mengalirkan bola-bola pendek di area lini pertahanan Arsenal sendiri. Belum lagi performa dari Emi Martinez yang menciptakan dua penyelamatan penting terhadap peluang Sadio Mane, tentunya hal ini membuat lini pertahanan Arsenal semakin kokoh dan padu. Hal ini dibuktikan dengan statistik Arsenal yang mana dari 15 shoot yang dilesakan Liverpool, hanya satu yang berbuah menjadi gol dengan rincian lima tendangan diblok, tiga diselamatkan, dan sisanya off target. Tentunya ini menandakan bagaimana solidnya lini pertahanan Arsenal pada laga ini.

Dalam situasi menyerang pun Arsenal terbilang efektif mengandalkan serangan balik dalam penyerangannya. Memanfaatkan umpan-umpan dari lini pertahanan Arsenal, tim ini menciptakan delapan percobaan ke arah gawang dengan dua diantaranya tepat sasaran dan satu berbuah gol. Gol Aubameyang sendiri lahir dari skema serangan balik. Berawal dari build-up apik di lini pertahanan, bola mengalir langsung merangsek ke tengah lapangan. Bukayo Saka yang melihat Aubameyang berdiri bebas, langsung memberikan umpan diagonal ke sisi kanan pertahanan Liverpool. Bebasnya Aubameyang tidak terlepas dari peran Maitland-Niles yang membuka ruang untuk Aubameyang. Ditambah dengan Overlap dari Kieran Tierney yang membuat sisi kanan pertahanan Liverpool menjadi Overload. Artinya terdapat penumpukan pemain di wilayah tertentu yang membuat Arsenal lebih mudah mengeksploitasi sisi kanan pertahanan Liverpool.

Maitland-Niles menjadi kunci dari kemenangan Arsenal pada laga ini. Selain membantu penyerangan Arsenal yang selalu melakukan overlap di sisi kiri, ia juga disiplin dalam membantu lini perthanan. Kurang menonjolnya Mohamed Salah pada laga ini juga dikarenakan kepiawan Maitland-Niles untuk selalu berada pada posisinya. Ia seperti tahu kapan harus menyerang dan kapan waktunya untuk mengawal lini pertahanan Arsenal. Berkat performanya inilah ia dinobatkan sebagai Man of The Match pada laga kali ini. Ditambah, pemanggilannya ke dalam skuad The Three Lions menjadikan kado terbaik untuk ulang tahunnya yang ke-23 yang mana bertepatan dengan laga Community Shield, malam itu. Sangat disayangkan bila Arsenal kehilangan pemain muda ini mengingat kita belum melihat potensi maksimal dari seorang Maitland-Niles.

Kemenangan Arsenal di Community Shield ini tentunya menjadi modal yang baik untuk Arsenal dalam memulai jalannya Premier League di musim 2020/21. Kita dapat melihat Arsenal mulai menunjukan kehebatannya di hadapan ‘Big Six’ Premier League. Mengalahkan Liverpool secara beruntun di dua pertemuan terakhir, mengalahkan Manchester City era Pep Guardiola, sampai memenagkan FA Cup setelah mengalahkan Chelsea. Hal ini menunjukan Arteta sudah memberikan pengaruh yang besar untuk Arsenal. Bahkan dibanding pelatih sebelumnya, Arteta meraih lebih banyak kemenangan melawan ‘Big Six’ di delapan bulan pertamanya dibandingkan Unai Emery. Tentunya tim ini sudah berjalan ke arah yang tepat. Tinggal bagaimana mereka menunjukan konsistensinya untuk dapat memenangkan lebih banyak gelar lagi.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani


Referensi

https://www.skysports.com/football/news/11095/12059243/arsenal-vs-liverpool-ratings-ainsley-maitland-niles-shines-in-community-shield-but-mohamed-salah-struggles

https://www.skysports.com/football/arsenal-vs-liverpool/stats/427352

Kamis, 27 Agustus 2020

SULITNYA ARSENAL MELAWAN ‘BIG SIX’

SULITNYA ARSENAL MELAWAN ‘BIG SIX’

Tidak dapat dipungkiri lagi, Premier League merupakan salah satu liga terkompetitif di dunia. Tidak seperti dominasi Barcelona-Real Madrid di La Liga, ataupun superioritas Paris Saint Germain, Bayern Munich, dan Juventus di liganya masing-masing. Premier League menghadirkan enam tim yang selalu bersaing dalam perebutan papan atas klasemen. Terdiri dari Arsenal, Chelsea, Manchester City, Manchester United, Liverpool dan Tottenham, dominasi tim-tim ini di Premier League membuatnya dijuluki dengan sebutan ‘Big Six’. Tiap tahunnya, tim-tim ini selalu berada di enam teratas papan klasemen. Ibaratnya, mereka hanya bertukar posisi tiap tahunnya. Tidak hanya itu, Premier League memiliki tim-tim kuda hitam seperti Leicester, Wolves, dan Everton yang mulai menggoyahkan dominasi ‘Big Six’ di papan klasemen. Hal ini tentunya sudah membuktikan bahwa Premier League merupakan liga paling kompetitif di dunia.

Namun bagi Arsenal sendiri, menjadi ‘Big Six’ hanya seperti embel-embel berkat kejayaan di masa lalu. Arsenal dianggap hanyalah pelengkap dari enam tim yang berada di papan atas. Tidak ada tanda-tanda tim ini benar-benar bersaing untuk memenangkan Premier League. Jangankan memenangkan liga, untuk masuk zona Champion League saja Arsenal sudah absen selama empat tahun. Bahkan di musim ini, Arsenal untuk pertama kalinya ke luar dari enam besar setelah finish di posisi delapan klasemen. Ini merupakan kali pertama Arsenal finish di bawah enam besar sejak 25 tahun yang lalu, lebih tepatnya sebelum kedatangan Arsene Wenger di publik Arsenal.

Bisa dilihat dari jajaran ‘Big Six’ lainnya, mungkin Arsenal menempati posisi paling buncit diantara para kompetitornya. Ya, berada di bawah Liverpool, Manchester City, Manchester United, Chelsea, bahkan rival bebuyutannya, Tottenham. Lantas kenapa Arsenal selalu berada di bawah tim-tim ‘Big Six’ lainnya?

Statistik Big Six Premier League

Untuk Premier League musim ini saja, Arsenal sendiri sulit untuk mendapatkan banyak kemenangan di liga. Dari 38 laga, Arsenal hanya memenangkan 14 laga. Bahkan dengan jumlah ini Arsenal kalah dari tim-tim seperti Burnley, Southampton dan Wolves yang mengemas 15 kemenangan. Mirisnya dua nama pertama (Burnley dan Southampton) merupakan tim yang finish bawah Arsenal. Hal ini tentunya menandakan bahwa Arsenal sering kehilangan poin penuh saat melawan tim-tim Premier League, terutama yang levelnya berada di bawah mereka.

Hal itu tentunya disebabkan kurang impresifnya beberapa lini arsenal musim ini, lini depan misalnya. Bila dibandingkan dengan tim ‘Big Six’ lainnya, jumlah gol Arsenal berada di posisi paling bawah dengan total 56 gol. Bahkan dari total gol yang dicetak Arsenal musim ini, tim ini masih bergantung pada sosok Aubameyang. Dari 56 gol yang dicetak Arsenal, 22 gol di antaranya berkat kepiawan Auba. Bayangkan saja bagaimana bila Aubameyang hengkang, mungkin kejadiannya akan mirip seperti saat Van Persie hengkang ke kubu sebelah. Bila Aubameyang bertahan pun Arsenal harus menemukan penyerang yang sama trengginasnya dengan dirinya, mengingat Auba yang sudah berumur 32 tahun tentunya tidak selalu berada pada performa terbaiknya.

Kurang produktifnya Arsenal musim ini tentunya tidak terlepas dari cara bermain Arsenal yang kurang mendominasi pada tiap laganya. Tercatat di musim lalu saja, Arsenal hanya bisa mencatat 406 shoot ke arah gawang musuh, berbeda jauh dengan Manchester City yang menempati posisi pertama (745). Semakin sedikit shoot maka tim tersebut kurang mendominasi dan cenderung mengalami kebuntuan dalam penyerangan. Bahkan bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Arsenal cenderung tertekan sehingga sulit menciptakan shoot ke arah gawang musuh.

Hal ini bukan bualan belaka, di lini pertahanan pun total Arsenal mencatat 147 saves, angka terbanyak dibandingkan klub Premier League lainnya. Tentunya hal ini semakin mengukuhkan bahwa Arsenal merupakan tim yang lebih banyak tertekan di musim ini. Banyak penyelamatan sama saja dengan banyaknya serangan musuh. Ditambah, lini pertahanan yang kurang meyakinkan, membuat Bernd Leno harus bekerja lebih ekstra lagi untuk mengawal gawang Arsenal. Wajar saja Arsenal hanya dapat meraih 10 Clean Sheet di liga musim ini melihat buruknya lini pertahanan Arsenal musim ini.

Dengan statistik seperti itu sulitnya Arsenal untuk mengalahkan ‘Big Six’ di EPL menjadi hal yang lumrah. Dari 12 pertemuan yang telah dilakoni Arsenal melawan ‘Big Six’ musim lalu, Arsenal hanya dapat menang dua kali, yaitu melawan Manchester United (home) dan Liverpool (home) di ajang Liga. Sisanya Arsenal tidak dapat meraih poin penuh.

Kedatangan Arteta

Namun, angin segar datang ketika Arteta mulai mengambil alih kursi kepelatihan Arsenal. Arsenal mulai menampilkan tajinya dihadapan ‘Big Six’ Premier League. Tentu kita ingat bagaimana supperiornya Arsenal mengalahkan dua tim papan atas Premier League, Liverpool dan Manchester City dalam sepekan. Tentu hal itu tidak lain karena racikan taktik Arteta yang berhasil meredam kedigdayaan dua pesaing gelar juara itu. Puncaknya adalah ketika Arteta dapat mengalahkan Chelsea di final FA Cup dan mempersembahkan trofi pertamanya sebagai pelatih untuk Arsenal.

Namun kemenangan saja tidak cukup, Arsenal harus menang secara meyakinkan bila ingin kembali mendominasi Britania. Ya, Arsenal memang menang melawan Liverpool, tapi bisa-bisanya Liverpool kalah setelah melepaskan 21 shoots ke gawang Arsenal. Ya, Arsenal memang menang Lawan City, namun bagaimana bisa Arsenal menjuarai Premier League bila mereka kalah mendominasi seperti apa yang dilakukan City terhadap Arsenal. Untuk itu diperlukan skema dan pemain yang tepat agar Arsenal dapat terus konsisten setiap laganya. Jangan sampai tim sekelas Brighton mempermalukan Arsenal baik di laga kandang maupun tandang.

Arsenal sudah memiliki kunci dari semua masalahnya, kapten Arsenal di masa lalu yang sekarang menjadi manajernya, Arteta. Tinggal bagaimana tim ini terus tumbuh untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani


Referensi: Premier League.

Selasa, 25 Agustus 2020

PINDAH DARI ARSENAL GARANSI AUTO JUARA

PINDAH DARI ARSENAL GARANSI AUTO JUARA

Kompetisi di lima liga top Eropa resmi berakhir musim ini. Di tengah pandemi COVID-19, banyak liga yang dibatalkan seperti Eredivisie (Belanda) dan Ligue 1 (Prancis). Liga-liga tersebut tentunya dibatalkan dengan alasan keselamatan orang banyak, mengingat meningkatnya pandemi pada pertengahan April lalu. Namun beberapa liga mulai melanjutkan kompetisinya setelah diberi lampu hijau oleh pemerintah setempat. Mayoritas liga mulai digulirkan pada awal Juli dan berakhir di awal Agustus. Namun, setelah berakhirnya lima liga top Eropa masih ada salah satu liga yang masih berjalan di bulan Agustus ini, yaitu UEFA Europa League dan UEFA Champions League.

Dengan menggunakan beberapa format baru, dua kompetisi bergengsi Eropa itu dilaksanakan setelah berakhirnya liga-liga di Eropa. Tentu, tidak lupa dengan protokol kesehatan yang amat ketat mengingat angka pertumbuhan virus COVID-19 masih terbilang fluktuatif di kawasan Eropa.

Sevilla dinobatkan menjadi juara di ajang Europa League sementara di ajang Champions League, Bayern Munich keluar sebagai jawara setelah mengalahkan Paris Saint Germain. Untuk PSG sendiri, ini merupakan kali pertama tim tersebut masuk ke babak final perhelatan bergengsi di Eropa itu. Sementara untuk Bayern sendiri, ini adalah final ke empat mereka selama satu dekade terakhir, yang mana dua di antaranya mengukuhkan tim ini sebagai juara. Total Bayern telah mengoleksi enam trofi UCL, angka yang sama dengan jawara sebelumnya, Liverpool.

Tentunya sudah tidak mengherankan Bayern Munich keluar sebagai juara UCL musim ini, mengingat bagaimana superiornya FC Hollywood ini mengalahkan kompetitornya. Tentunya, keberhasilan Bayern ini tidak lepas dari berbagai pemain pilarnya. Selain Lewandowski, terdapat satu nama yang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Siapa lagi kalau bukan Serge Gnabry.

Serge Gnabry sendiri bisa dibilang salah satu pemain berbakat yang performanya menonjol di musim ini. Dari 47 pertandingan yang dilakoninya bersama Bayern, Ia mencatatkan 25 gol dan 12 assist. Bahkan bila dihitung dari ajang UCL sendiri, Ia mengemas 9 gol dan 2 assist dari 8 pertandingan, artinya Gnabry selalu menyumbang setidaknya satu gol pada tiap pertandingan UCL yang Ia mainkan. Angka yang sangat fantastis untuk pemain yang baru berusia 25 tahun.

Tentunya torehan Gnabry di musim ini membuat pendukung klub lamanya gigit jari. Bagaimana tidak, Gnabry sendiri dahulu adalah pemain Arsenal yang berbakat, bahkan ia menjalani debutnya bersama Arsenal di usia yang masih belia. Namun, performanya di Arsenal tidak terlihat begitu bersinar akibat berbagai cedera yang ia alami. Selepas cedera, sulit bagi Gnabry untuk menemukan performa terbaiknya. Bahkan ketika Ia dipinjamkan ke West Brom pada tahun 2015, manajer West Brom kala itu Tony Pulis mengatakan bahwa Gnabry tidak cocok bermain di Premier League.

Setahun setelahnya Arsenal menjualnya ke Werder Bremen dengan harga yang sangat murah. Manajer Arsenal kala itu, Arsene Wenger, sebenarnya tidak ingin melepas Gnabry dengan alasan Gnabry belum menunjukan seluruh potensinya kala itu. Namun Gnabry sendiri yang menginginkan dirinya untuk pergi karena membutuhkan menit bermain yang cukup.

Keluarnya Gnabry dari Arsenal nyatanya tidak disesali oleh dirinya. Karir Gnabry langsung sukses bersama klub-klub yang ia bela. Dimulai dari Werder Bremen yang kemudian sekarang berlabuh di Bayern Munich. Ya, tentunya semua akan Munchen pada waktunya. Gnabry sendiri bukanlah orang pertama yang mengalami kesuksesan ketika memilih pergi dari Arsenal. Nama-nama seperti Thierry Henry, Fabregas, Nasri, Van Persie, dan Oxlade-Chamberlain, memiliki karir yang lebih baik dan gelar yang lebih bergengsi saat mereka meninggalkan klub London Utara itu.

Hal ini seperti anomali pada tiap-tiap pemain yang pergi dari Arsenal. Mengapa hal tersebut bisa selalu terjadi? Nah, untuk itu penulis mencoba menjelaskan beberapa faktor yang membuat pemain sepakbola dapat lebih sukses ketika ia keluar dari Arsenal.

Kesempatan

Yup banyak pemain muda potensial yang jarang mendapatkan kesempatan lebih untuk bermain di tim utamnya masing-masing. Tidak hanya Arsenal, banyak tim-tim di luar sana yang kehilangan pemain potensialnya karena jarang diberi kesempatan seperti De Bruyne, Salah, dan Lukaku saat di Chelsea. ‘itu si Iwobi dikasih banyak menit bermain kok masih jelek aja’. Santai, ini masih faktor pertama, masih ada faktor lainnya yang perlu dibahas pada isu ini.

Kebutuhan tim akan pemain

Kenapa hal ini sangat penting? Ya yang namanya sepakbola dimainkan oleh 11 pemain. Nah, dari 11 pemain itu tentunya punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Pemain yang paling banyak menutup kekurangan tim ini lah yang akan keluar potensi terbaiknya. Tentunya peran pelatih di sini sangat penting mengingat bagaimana taktiknya ini nanti akan diterapkan pada pemainnya, contohnya seperti Robertson. Sebelum ia menjadi bagian dari Liverpool, Robertson hanyalah pemain muda dengan kemampuan yang tergolong biasa-biasa saja. Namun siapa sangka di bawah asuhan Juergen Klopp, Robertson disulap menjadi salah satu bek kiri terbaik di dunia. Tentunya hal ini tidak luput dari skema permainan dari Liverpool yang mana mengeluarkan potensi terbaik dari Robertson.

Tentu kita tahu seberapa hebatnya Coutinho. Ia adalah pemain yang memiliki kemampuan yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, karena Coutinho bukanlah pemain yang benar-benar dibutuhkan pada skema klubnya saat ini, maka potensi dari pemain ini tidak terlihat seperti apa yang terlihat pada klub sebelumnya. ‘tapi ada kok pemain yang tetep hebat walaupun sudah pindah klub dan lebih berhasil di klub barunya?’. Nah saatnya kita masuk ke faktor berikutnya

Visi misi

Ini adalah satu faktor penting dalam sebuah tim untuk dapat meraih gelar. Bila dianalogikan seseorang yang hebat tidak akan meraih apa-apa bersama timnya bila tidak memiliki pandangan yang sama dengan dirinya dan begitu juga sebaliknya. Tentunya visi-misi suatu tim harus dibarengi dengan tindakan mereka di lapangan, seberapa besar hasrat mereka akan terlihat pada bagaimana performa mereka selama membala hal itu. Bila semuanya sudah satu visi-misi, maka pemain akan lebih fokus pada tiap pertandingan yang akan dilakoninya. Tinggal kita lihat tim mana yang memiliki hasrat yang lebih besar untuk memenangkan pertandingan. Tentunya faktor keberuntungan tidak luput dari hal ini.

Nah dengan melihat faktor-faktor di atas tentunya banyak variable yang belum dipenuhi oleh Arsenal. Melihat pemain hasil didikan sendiri lebih bersinar di klub lain memanglah menyakitkan, tapi memangnya bila pemain itu tetap bertahan akan menjadi bersinar seperti sekarang?

Ditulis oleh: Robby Arsyadani

Referensi

https://www.panditfootball.com/cerita/213324//200303/roller-coaster-karier-sepakbola-serge-gnabry

https://www.whoscored.com/Players/119501/Show/Serge-Gnabry