Senin, 10 Agustus 2020

LIKA LIKU KEBIJAKAN TRANSFER ARSENAL

LIKA LIKU KEBIJAKAN TRANSFER ARSENAL

Bila mendengar kata Arsenal pasti ada satu pesan yang terbesit dalam benak tiap-tiap supporter sepakbola seperti tim ini adalah tim besar, klub yang memiliki sejarah yang panjang, dan masih banyak lainnya. Tapi pasti kita semua setuju bahwa tim ini adalah tim yang pelit saat dihadapkan dengan bursa transfer pemain. Tiap tahun manajemen Arsenal selalu d6ikecam oleh berbagai golongan karena kebijakannya tersebut. Di saat tim-tim besar melakukan perombakan besar-besaran untuk membenahi timnya, Arsenal cenderung pasif dalam melakukan pergerakan untuk membeli pemain.

Semuanya bermula dengan kehadiran Arsene Wenger pada tahun 1996. Datang dari klub antah-berantah, banyak fans yang meragukan kualitas manajer berpaspor Prancis itu. Seiring berjalannya waktu nyatanya keraguan itu mulai luntur ketika ia dapat mengantarkan Arsenal meraih gelar Premier League-nya yang pertama pada tahun 1998. Selain itu Wenger juga mempersembahkan trofi FA Cup dan Community Shield di tahun yang sama. Hebatnya, kala itu Arsenal memenangkan liga dengan nama-nama yang kurang familiar. Namun berkat sentuhan Wenger, nama-nama seperti Anelka, Petit, Bergkamp, dan Viera mulai mencuat ke permukaan sebagai pemain yang mempunyai kualitas jempolan. Mulai dari situlah awal dari citra Arsenal sebagai klub yang menghasilkan pemain bintang.

Peran Wenger tentunya memiliki andil besar dalam pesatnya perkembangan Arsenal di tanah britania. Tidak seperti klub lainnya, Wenger mempunyai jalan sendiri untuk meraih kesuksesannya di Arsenal. Ketika pelatih lain berlomba-lomba mencari nama besar untuk memperkuat timnya, Wenger lebih tertarik mendatangkan pemain muda/pemain setengah jadi yang tentu harganya tidak semahal pemain-pemain yang memiliki nama besar namun memiliki kualitas yang dapat bersaing dengan jajaran pemain top lainnya. Kejelian mata Arsene Wenger ini yang membuat Arsenal selalu mencetak pemain bintang setiap tahunnya. Memadukan pengalamannya dengan pemain senior lainnya, Wenger berhasil menempa pemain muda Arsenal untuk terus berada ke puncak performanya. Belum lagi dengan penguasaan tujuh bahasanya membuat dirinya dapat lebih dekat dengan pemain-pemainnya. Berkat kepiawannya tersebutlah ia dijuluki sebagai The Proffessor.

Wenger memang memiliki folosofi tersendiri untuk urusan transfer pemain. Bila dijabarkan secara terinci, terdapat empat indikator untuknya mendaratkan pemain ke Arsenal. Memberikan dampak terhadap tim, berusia muda, berharga miring dan nantnya bisa memiliki nilai jual yang tinggi. Diawal masa kepelatihannya, Wenger memang tidak pernah tergoda untuk mendatangkan pemain bintang. Menurutnya kedatangan pemain bintang hanya membuat para fans berekspetasi lebih banyak pada pemain tersebut sehingga memberikan tekanan terhadap pemain. Sebaliknya, bila pemain tersebut tidak terlalu terkenal maka beban yang dipikul tidak lah besar. Hal tersebutlah yang membuat banyak pemain muda Arsenal terus berkembang sehingga dapat bersaing dengan nama-nama besar lainnya.

Ambisi Wenger untuk membawa Arsenal untuk menjadi tim papan atas liga inggris sangatlah besar. Selain merusak dominasi Liverpool dan Manchester United di dalam lapangan, ia bertekad untuk meneruskan dominasinya di luar lapangan. Manchester United tentunya tim yang memiliki garis keturunan supporter yang amat banyak. Dukungan para supporter yang sangat besar itulah yang membuat United memiliki sokongan kekuatan finansial yang amat besar. Dibandingkan Arsenal, MU kala itu memiliki kekuatan finansial bagaikan langit dan bumi dengan para kompetitornya. Melihat hal tersebut Wenger pun tidak tinggal diam, beribu cara ia pikirkan untuk setidaknya mengimbangi kekuatan finansial United. Akhirnya tercetuslah ide dari Wenger untuk membuat stadion baru. Menurut Wenger, cara ini adalah cara satu-satunya untuk mendongkrak kekuatan finasial dari Arsenal. Setelah mendesak dan mendiskusikan dengan para petinggi Arsenal, akhirnya pembangunan stadion pun terlaksana dengan memakan waktu dua tahun, dalam rentang waktu 2004-2006 yang mana sekarang dikenal dengan Emirates Stadium.

Pembangunan Emirates yang usai pada 2006 tentunya membawa warna baru Arsenal. Stadion berkapasitas 60.000 kursi ini membuat Arsenal semakin dikenal oleh banyak pihak. Hal ini menimbulkan engagement terhadap fans-fans sepakbola yang ada untuk memilih menjadi Gooners, sebutan untuk para fans Arsenal. Belum lagi dengan infrastruktur yang tergolong lengkap tentunya menunjang pembangunan klub kea rah yang lebih baik. Namun, pembangunan stadion ini bagai pisau bermata dua. Dibalik kemegahannya, pembangunan stadion yang menjadi tanggung jawab para petinggi Arsenal beserta Wenger ini dibangun dengan hutang dari berbagai bank yang ada di tanah Britania. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, hampir mencapai 390 juta pundsterling. Ya kalau dirupiahkan dengan kurs sekarang bisa mencapai 7,4 trilliun. Angka yang sangat fantastis untuk pembangunan sebuah stadion di Inggris.

Para petinggi dan Arsene Wenger pun pastinya sudah paham dari konsekuensi akan keputusan membangun Emirates Stadium. Pemotongan anggaran belanja pemain Arsenal sudah pasti tidak terelakan lagi karena harus membagi pendapatannya untuk mencicil pembayaran hutang stadion. Namun Wenger tentu sudah punya solusi dari permasalahan tersebut, yakni dengan melego para pemain bintangnya untuk menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran klub. Banyak nama-nama besar yang sudah menjadi korban keganasan dari sistem ini seperti Thiery Henry, Joes Antiano Reyes, Alexandre Hleb, Emanuel Adebayor, Kolo Toure, Cesc Fabregas, Samir Nasri, Gael Clichy, Alex Song, Carlos Vela, hingga Robin Van Persie. Akibatnya selama sembilan musim Arsenal harus menahan dahaga akan trofi juara. Banyak yang mengecam tindakan Wenger yang selalu menjual pemain bintangnya, kendati sudah mendatangkan pengganti pemain bintang yang hengkang. Alasannya karena Wenger yang terkesan irit dan pasif dalam bursa transfer membuat Arsenal selalu tertinggal dengan para kompetitornya. Belum lagi dengan pemain yang didatangkan cenderung pemain muda yang belum berpengalaman atau pemain-pemain yang tidak memiliki nama besar sehingga dinilai tidak dapat membawa Arsenal dalam persaingan menuju tangga juara. Hal inilah yang menjadi keresahan setiap pendukung Arsenal dan awal dari stigma ‘pelit’ pada klub ini.

Arsene Wenger tentunya sadar bahwa filosofinya saat ini sudah mulai usang. Dia tidak dapat terus menerus mengandalkan pemain antah berantah untuk dapat menyaingi kompetitor lainnya. Faktanya, di sepak bola modern semuanya dapat lebih mudah bila memiliki kekuatan finansial yang memadai. Terbukti dengan kedatangan Abrahamovic dan Sheik Mansour yang mengubah tim sekelas Chelsea dan Manchester City, menjadi tim yang dapat bersaing dengan level domestik dan Eropa. Namun Arsene Wenger tidak serta merta terbawa arus untuk mengerahkan seluruh kekuatan finansialnya seperti halnya Chelsea dan Manchester City. Wenger membuang separuh ideologinya dalam kebijakan transfernya. Dalam arti lain ia memberikan proporsi sendiri pada tiap indikatornya. Wenger yang sekarang akan melakukan pembelanjaan pemain ketika pemain tersebut dapat memberikan dampak yang besar terhadap tim. Terbukti dengan kedatangan Mesut Oezil, Alexis Sanchez dan Pierre Emerick Aubameyang rasanya sudah memberikan jawaban pasti terhadap kebijakan transfer Wenger yang sudah berevolusi menyesuaikan zaman. Meski Wenger tetap dikritik walaupun sudah mendatangkan berbagai pemain bintang karena masih dianggap pelit tidak seperti kompetitornya, ia tetap bersikukuh bahwa transfer pemain hanya dilakukan pada lini yang dianggapnya kurang.

Selepas lunasnya hutang Emirates Stadium dan mulai datangnya pemain bintang di Arsenal, perlahan Arsenal mulai bangkit dari masa suramnya. Tiga gelar piala FA dan tiga gelar Community Shield merupakan bukti konkret dari kesabaran Arsenal. Arsenal bahkan memiliki kans untuk menjuarai Premier League di musim 2015/2016. Namun sayang, musim itu lebih berpihak pada Leicester City, walaupun kita dapat mengalahkannya di laga tandang maupun kendang. Selain itu nyatanya Arsenal masih konsisten berada di jalur kompetisi Eropa, ya walapun hanya menjadi tim yang meramaikan kompetisi tersebut.

Pencapaian-pencapain yang diraih Arsenal di masa Wenger ternyata masih belum bisa menghapuskan dahaga para fans terhadap kejayaan timnya di kompetisi domestic. Para fans pun banyak yang menggaungkan untuk menurunkan jabatan Wenger dari kursi kepelatihan Arsenal. Menurut mereka, Wenger sudah cukup lama mengabdi untuk Arsenal dan sudah saatnya untuk ia pergi secara baik-baik. Namun terdapat juga fans yang masih berharap pada pelatih berpaspor prancis itu karena dirasa masih bisa bersaing di papan atas. Akibatnya terjadi pepecahan pada kedua fans Arsenal antara kubu WengerOut dan In Arsene Wenger We Trust. Perpecahan tersebut nyatanya sudah lama terjadi di kubu Arsenal, namun lebih digaungkan pada tahun 2017 ketika Arsenal untuk pertama kalinya finish di luar zona Champions League dalam 20 tahun terakhir. Akhirnya setahun setelahnya Wenger memilih untuk pensiun setelah perjalanan panjangnya di klub yang ia besarkan.

Kepergian orang yang sangat penting tentunya sulit untuk mencari penggantinya. Petinggi Arsenal mencoba menunjuk Unai Emery sebagai penerus dari Arsene Wenger. Selain itu, Arsenal menunjuk beberapa staff baru untuk membantu kinerja Unai Emery seperti Sven Mislintat sebagai head of recruitmen dan Raul Sanheli sebagai director of football. Namun, dibalik perekrutan wajah-wajah baru dari para petingginya, Arsenal juga harus kehilangan CEO-nya Ivan Gazidis. Mundurnya Gazidis dari kursi CEO tentunya menjadi tanda tanya besar karena orang yang berpengaruh dalam penunjukan Unai Emery sebagai pelatih adalah dirinya. Gadzidis beralasan bahwa masa baktinya bersama Arsenal sudahlah usai, dan sudah saatnya untuk ia mencari tantangan baru. Posisi yang ditinggal Gazidis selanjutnya diisi oleh Josh Kroenke, anak dari pemilik klub yaitu Stan Kroenke.

Kedatangan wajah-wajah baru di petinggi Arsenal membuat pendekatan yang dilakukan tentunya berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Wenger. Arsenal mulai berani menggelontorkan banyak dananya untuk merekrut berbagai pemain. Terhitung dari kepergian Wenger sampai sekarang, Arsenal sudah menggelontorkan dana sebesar 240 jua euro, bahkan Arsenal merupakan tim yang paling boros pada bursa transfer musim panas lalu. Pembelanjaan besar-besaran ini tentunya didasari dari banyaknya pemain inti yang mulai hengkang seperti Koscielny, Petr Cech, Nacho Monreal, dan Aaron Ramsey. Kedatangan nama-nama seperti Bernd Leno, David Luiz, Dani Ceballos, Nicolas Pepe dan pemain muda lainnya, tentunya diproyeksikan sebagai pengisi posisi yang ditinggalkan pemain pilar Arsenal sebelumnya. Tentunya hal ini dilakukan untuk bukti keseriusan manajemen Arsenal untuk dapat bersaing dengan klub papan atas lainnya.

Namun hasil yang didapat tidak seperti dengan apa yang diharapkan. Arsenal terlebih dahulu kehilangan Sven Mislintat dari posisi staff head of recruitment. Mislintaat kesal dengan kerja kerasnya yang tidak dihargai oleh para petinggi Arsenal. Padahal Mislintat dikenal sebagai orang yang memiliki andil besar dalam pembentukan skuat Dortmund di tahun 2011. Kehilangan Mislintat tentunya menjadi pukulan bagi Arsenal, posisinya kemudian digantikan oleh mantan pemain dari Arsenal, Edu Gaspar. Masalah kemudian datang ketika transfer yang dilakukan di musim panas kemarin tidak terlalu berdampak besar pada klub. Di awal musim, Arsenal harus terseok-seok di ajang domestic maupun eropa. Hal ini membuat manejemen Arsenal memecat Unai Emery dari kursi kepelatihan dan digantikan oleh Mikel Arteta.

Beberapa bulan setelah dipecat, Emery membeberkan bagaimana kebijakan transfer yang ada di Arsenal. Ia menjelaskan bahwa transfer yang dilakukan oleh klub harus dirundingkan dengan petinggi lainnya yaitu Raul Sanlehi dan Edu Gaspar. Hal ini tentunya membuat Emery tidak dapat bebas melakukan pembelian pemain. Bahkan menurut Emery sendiri kedatangan Nicolas Pepe bukanlah pemain yang ingin ia datangkan. Hal itu merupakan keinginan dari pihak manajemen. Wenger sendiri memang pernah mengecam tentang adanya wacana pembuatan staff untuk perekrutan pemain. Menurutnya hal ini membatasi ruang gerak pelatih dalam menentukan pemain yang akan didatangkannya. Di era Wenger dulu, ia turun langsung dalam hal perekrutan pemain. Ia diberi kebebasan karena pemilik Arsenal sendiri pun, Stan Kroenke sangat percaya pada dirinya. Namun dimasa sekarang, Arsenal harus berunding dan satu suara dalam hal perekrutan pemain. Jangan sampai hal yang terjadi pada transfer Nicolas Pepe terulang. Sedikit menyulitkan memang, namun tentunya terdapat niat baik di dalamnya. Dengan adanya banyaknya kepala, tentunya menghindarkan Arsenal dari pembelian yang terkesan mubazir.

Sayangnya di era Arteta ini, ia harus dihadapkan dengan kondisi Arsenal yang sedang rapuh. Hasil buruk yang di alami Arsenal baik di kompetisi domestik maupun eropa berpengaruh pada kekuatan finansial klub tersebut. Belum lagi dengan kondisi ekonomi yang suram karena pandemic membuat Arsenal harus mem-PHK 55 karyawannya untuk dapat terus berinvestasi pada skuat Arsenal. 

Ya kita lihat saja bagaimana kelanjutan dari kebijakan Arsenal di era Arteta ini, mengingat Arteta sudah membuktikan kualitas dirinya dengan membawa Arsenal meraih gelar di masa terpuruknya.

Ditulis oleh: Robby Arsyadani

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar